JAKARTA, Berita HUKUM - Anggota Komisi IV DPR RI Firman Soebagyo tidak sepakat dengan rencana Pemerintah (Kementerian Pertanian) untuk melakukan impor daging kerbau dari India sebagai langkah strategis agar daging sapi yang masih mahal di sekitar Rp. 100.000 segera turun di bawah Rp. 80.000.
Menurut Firman yang juga Wakil Ketua Baleg DPR RI, dirinya menolak kebijakan impor daging kerbau itu dengan alasan bahwa keputusan tersebut bertentangan dengan budaya konsumen di Indonesia. Di mana masyarakat selama ini lebih menikmati konsumsi daging sapi bila dibandingkan daging kerbau.
"Jika pemerintah ingin melakukan impor daging kerbau, harus betul-betul memenuhi sesuai mekanisme aturan yang ada. Selain itu, masyarakat Indonesia tidak biasa dengan makan daging kerbau. Budayanya kita bukan budaya makan daging kerbau tapi makan daging sapi," kata Firman di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, Kamis (14/7).
Firman meminta Pemerintah menunda kebijakan itu. Karena tujuan pemerintah melakukan impor daging kerbau untuk menyiasati daging sapi belum bisa turun di harga Rp80.000. Menurut Firman, kebijakan itu sangat tidak benar, apalagi ingin menjadikan pasar Indonesia ingin seperti Malaysia. Padahal, lanjutnya, kebutuhan dan struktur pasar niaga daging di negeri Jiran Malaysia dengan Indonesia sangat berbeda.
"Pemerintah selama ini tetap saja tak mempertimbangkan terhadap nasib para peternak-peternak lokal. Karena pada akhirnya nanti, ada pemaksaan kehendak dari pemerintah terhadap masyarakat yang terbiasa makan daging sapi untuk mengosumsi daging kerbau. Toh, nanti mau tidak mau, suka tidak suka harus membeli daging kerbau," terangnya.
Politisi asal Pati, Jawa Tengah ini menilai, jika Kementan tetap memaksa melakukan impor daging kerbau tanpa mempertimbangkan faktor sosiologi ekonomi penghasilan masyarakat di sejumlah daerah. Maka yang pertama dirugikan dari kebijakan itu adalah masyarakat yang masih menggantungkan hidupnya pada sektor peternakan.
"Tentunya, kebijakan ini akan mematikan posisi penghasilan petani lokal. Ini tak boleh dilanjutkan, karena ini siasat saja dari Kementan. Oleh karena itu kenapa pemerintah terlalu terlampau terburu-buru menyampaikan statment menjungkir-balikan di bawah Rp. 80.000," terangnya.
Ketum Ikatan Keluarga Kabupaten Pati (IKKP) ini mengusulkan, sebelum pemerintah mengeluarkan sebuah kebijakan sebaiknya mempertimbangkan untung ruginya. Apalagi kebijakan itu bersentuhan langsung dengan dapur rakyat kecil.
"Saya meminta pemerintah, sebelum menyampaikan kebijakan ke publik seharus dilakukan hitung-hitung dulu secara teknis, mungkinkah hal itu dilakukan? Jangan sampai hanya mengatakan, bisa-bisa, dan bisa tapi kenyataannya di lapangan tak bisa. Ini akan mengecewakan rakyat," ujarnya.(as/DPR/bh/sya) |