MEDAN, Berita HUKUM - Perhimpunan Bantuan Hukum dan Advokasi Rakyat Sumatera Utara (BAKUMSU) sebagai lembaga yang konsen dalam penegakan hukum, Hak Asasi Manusia (HAM) dan demokrasi mengutuk keras tindakan yang dilakukan Polda Sumatera Utara (Sumut) dan Polres Deliserdang serta Polres Binjai, yang telah menghalang-halangi aksi damai ribuan massa Tani dan Mahasiswa, yang tergabung dalam Front Rakyat Bersatu (FRB) pada, Rabu (19-20/2) hal ini dikatakan oleh Manambus Pasaribu, SH selaku Direktur Program kepada wartawan dikatantornya Jl. Air Bersih, Medan.
Manambus juga mengatakan, "Tindakan represif kepolisian yang berujung pada penahanan 21 orang anggota massa, disertai pemukulan yang berakibat luka - luka pada tubuh korban, merupakan bentuk pelanggaran serius terhadap HAM, terutama kebebasan untuk berserikat, berkumpul dan mengemukakan pendapat bagi seluruh warga negara," ujarnya.
Lanjutnya, "Aparat kepolisian lagi-lagi tidak hadir ketika rakyat membutuhkan perlindungan, bebas dari rasa takut dan pemenuhan jaminan keamanan. Dalam hal ini, kepolisian telah mencederai upaya-upaya membangun demokrasi dan penegakan HAM terutama untuk memajukan, menghormati dan melindungi hak asasi manusia, dan mewujudkan tatanan demokrasi yang diamanatkan UU," jelasnya.
Dutambahkan Manambus Pasaribu, "Aksi yang dilakukan oleh massa tani ini adalah aksi damai, terkait dengan penyelesaian konflik agraria yang tidak kunjung selesai di Sumatera Utara," tegasnya.
Oleh kerena itu, "kepolisian seharusnya bertindak persuasif dalam menyikapi persoalan ini. Bukan malah menunjukkan arogansi, seolah massa tani adalah pihak yang tidak bisa diajak bekerjasama dan membahayakan keamanan," katanya.
Sejatinya tugas dan kewenangan Kepolisian Republik Indonesia sebagaimana Pasal 13 UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah, memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat; menegakkan hukum; dan memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat. Dalam kasus ini, kepolisian justru menciptakan ancaman ke warga sipil. Sepertinya Peraturan Kapolri (Perkap) No 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar HAM dalam Penyelenggaraan Tugas Polri, slogan belaka," tegasnya.
Ditambahkannya lagi, "Polisi juga telah gagal memahami konstitusi Indonesia, menciderai Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia, UU No 39 Tahun 1999 dan Pasal 19 Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik yang sudah diratifikasi ke dalam UU No 12 Tahun 2005. Ketentuan tersebut pada pokoknya memberikan jaminan HAM kepada semua orang untuk berkumpul, berserikat, berpendapat, menyampaikan pikirian, berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia,".
Berdasarkan hal tersebut, agar peristiwa pembubaran paksa tidak terulang di masa depan, kami mendesak:
1. Bebaskan tanpa syarat semua anggota massa aksi yang saat ini ditahan.
2. Kapolda Sumut segera memeriksa dan memberikan sanksi yang tegas dan bila diperlukan segera mencopot pimpinan kepolisian jajaran di bawahnya yang terlibat langsung dalam melakukan penghalangan, pembubaran paksa dan penahanan sewenang-wenang terhadap massa FRB.
3. Komnas HAM segera melakukan menyelidiki dan mengusut tuntas dugaan pelanggaran HAM dalam peristiwa ini.
4. Mendesak Gubernur Sumatera Utara untuk segera melakukan upaya-upaya penyelesaian konflik agraria dengan melibatkan peran aktif petani, masyarakat adat/lokal sebagai stakehoder.(bhc/nco) |