JAKARTA, Berita HUKUM - Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang perdana pengujian Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana pada Kamis (9/4) siang, di Ruang Sidang Panel Lantai 4 Gedung MK. Perkara yang teregistrasi dengan nomor 41/PUU-XIII/2015 ini diajukan oleh Muhammad Zainal Arifin, yang berprofesi sebagai advokat. Pada kesempatan itu, Heru Setiawan didampingi Novi Kristianingsih dan Rosantika Permatasari Putri sebagai kuasa hukum menyatakan akan menguji ketentuan praperadilan sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 10, Pasal 77, Pasal 78, Pasal 82, Pasal 95, dan Pasal 96 UU a quo.
Menurut Heru, Pemohon merasa dirugikan atas ketentuan a quo karena pengertian dan objek praperadilan cukup terbatas. Adapun pengertian dan objek praperadilan ini terdapat dalam Pasal 1 angka 10 UU a quo menyatakan bahwa:
Praperadilan adalah wewenang pengadilan negeri untuk memeriksa dan memutus menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini, tentang:
a. sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atas permintaan tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa tersangka;
b. sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan;
c. permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan.
Heru berpendapat bahwa sah atau tidaknya penggeledahan, penyitaan, pencegahan ke luar negeri, dan pemblokiran rekening perlu dimasukkan dalam objek praperadilan. Pemohon yang berprofesi sebagai advokat, lanjut Heru, berpotensi mendapatkan upaya paksa, yakni penggeledahan, penyitaan, pencegahan ke luar negeri dan pemblokiran rekening. Potensi ini dapat terjadi karena advokat bisa saja dianggap mempunyai hubungan dengan tersangka atau terdakwa. Jika hal ini terjadi, maka Pemohon tidak akan dapat mengajukan upaya hukum karena pengertian dan objek praperadilan masih terbatas.
“Jika objek praperadilan masih dibatasi, sebagaimana norma-norma a quo yang diuji, maka Pemohon selaku pribadi tidak dapat mengajukan upaya hukum praperadilan terhadap upaya paksa tersebut,” papar Heru di hadapan panel hakim yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams.
Selain itu, Novi Kristianingsih menyatakan bahwa terdapat beberapa alasan mengapa Pemohon meminta penggeledahan, penyitaan, pencegahan ke luar negeri dan pemblokiran rekening untuk menjadi objek praperadilan. Menurutnya, upaya paksa yang dilakukan penegak hukum tidak hanya terdiri dari penangkapan dan atau penahanan saja. Upaya paksa ini juga bisa dalam bentuk penggeledahan, penyitaan, pencegahan ke luar negeri dan pemblokiran rekening yang berpotensi melanggar hak asasi manusia.
“Apabila upaya paksa tersebut dilakukan secara sewenang-wenang dan melanggar peraturan perundang-undangan yang berlaku, maka berpotensi melanggar hak asasi manusia,” kata Novi, yang juga kuasa hukum Pemohon.
Berdasarkan dalil-dalil tersebut, Pemohon meminta agar ketentuan yang diujikan dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Inskonstitusional sepanjang pengertian praperadilan tidak dimaknai termasuk pula wewenang pengadilan negeri untuk memeriksa dan memutus tentang sah atau tidaknya penggeledahan, penyitaan, pencegahan ke luar negeri dan pemblokiran rekening atas permintaan pihak yang dirugikan.
Menanggapi permohonan, Hakim Konstitusi Anwar Usman mengingatkan agar Pemohon juga melihat beberapa putusan MK maupun perkara yang masih dalam proses di MK. Anwar pun kemudian merinci beberapa putusan dan perkara yang terkait dengan permohonan Pemohon. Menurut Anwar, hal ini menjadi penting sebagai bahan perbandingan permohonan.
“Jadi, ya itu beberapa perkara, baik yang sudah putus atau yang masih diproses, paling tidak bisa dijadikan acuan, ya, dibandingkan. Ya, di samping tentunya nanti ada masukan lain dari Majelis Panel,” tutur Anwar.
Kemudian Hakim Konstitusi Suhartoyo juga menyatakan bahwa memang terdapat beberapa perkara yang mempunyai karakter yang sama dengan permohonan Pemohon, yakni menyangkut penyitaan dan penggeledahan. Lebih lanjut, Suhartoyo meminta agar Pemohon lebih mencermati kedudukan hukum, di mana sebelumnya Pemohon menyatakan bahwa kedudukan hukum advokat telah diterima di MK.
“Jangan kemudian Saudara menggeneralisir, kan. Tapi, paling tidak Anda cermati dulu di dalam putusan yang Anda jadikan acuan itu untuk kemudian betul-betul dijadikan cengkraman di dalam membuat perbaikan,” kata Suhartoyo.
Lebih lanjut, Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams meminta agar Pemohon tidak hanya membandingkan kedudukan hukumnya dengan putusan MK sebelumnya, tetapi lebih mempertajam kerugian konstitusionalnya. Selain itu, Wahiduddin juga meminta agar Pemohon lebih mempertajam pertentangan norma antara pasal yang diuji dengan dasar pengujiannya.
“Tidak hanya ditempelkan, ini pasal-pasal yang dimohon pengujian, ini dasar pengujiannya, tidak. Dipertajam bagaimana pertentangan norma antara pasal yang dimohon pengujian itu dengan dasar pengujiannya itu, atau Saudara menyebut batu uji itu, jadi tidak hanya dipaparkan teksnya saja,” pungkas Wahiduddin.(TriyaIR/mk/bh/sya) |