SURABAYA, Berita HUKUM - Solidaritas Masyarakat Surabaya mengirimkan surat terbuka kepada Presiden Joko Widodo yang isinya menolak Keppres mengenai remisi bagi Nyoman Susrama, otak sekaligus pelaku pembunuh jurnalis Radar Bali, AA Gde Narendra Prabangsa pada 2009.
Remisi atau pengurangan hukuman yang diberikan Presiden Joko Widodo kepada Nyoman Susrama, otak sekaligus pelaku pembunuhan jurnalis Radar Bali, Prabangsa, menurut pakar hukum dari Fakultas Hukum Universitas Airlangga Surabaya, Herlambang Perdana Wiratraman, telah mencederai semangat kebebasan pers yang telah lama diperjuangkan bangsa Indonesia pasca reformasi.
Menurut Herlambang, surat terbuka kepada Presiden Joko Widodo ini juga merupakan bentuk keprihatinan masyarakat, terhadap perilaku kejahatan dan kekerasan di Indonesia yang masih bebas dari jerat hukum.
"Ini menunjukkan sikap bahwa elemen-elemen publik, elemen masyarakat yang ada di Surabaya tidak setuju, menyatakan ketidaksetujuannya terhadap upaya remisi yang diberikan Jokowi, dan kita mendorong untuk menegakkan upaya yang lebih adil dalam kebebasan pers, dalam bentuk mendukung Jokowi untuk mencabut remisi itu. Dan yang kedua, itu saya kira di situ soal impunitas, bahwa saat ini realitas impunitas itu masih kuat mengakar di republik ini, tidak hanya soal pers tetapi juga soal hak asasi manusia yang lain. Jadi, jangan lukai dengan remisi-remisi yang justru sebenarnya blunder buat kebijakan pemerintah saatini," kata Herlambang Perdana Wiratraman.
Pemberian remisi kepada pembunuh jurnalis Prabangsa, menurut Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Surabaya, Fatkhul Khoir, diduga bermuatan politis karena pelaku memiliki pandangan politik yang sama dengan pemerintah. Fatkhul Khoir menyayangkan pemberian remisi terhadap pembunuh jurnalis, dimana kasus-kasus kekerasan dan pembunuhan terhadap jurnalis tidak pernah terselesaikan dengan tuntas.
"Kita melihatnya proses pemberian remisi ini sangat politis ya, di sisi lain bahwa pembunuh ini setelah divonis bersalah memang tidak pernah mengakui bahwa dia bersalah, artinya untuk kategori berkelakuan baik patut dipertanyakan, karena memang tidak pernah mengakui bahwa dia memang bersalah dan melakukan pembunuhan, ini yang sangat kami sayangkan, artinya selama ini dalam berbagai kasus kekerasan terhadap jurnalis, hampir tidak pernah ada yang divonis berat dalam konteks kasus ini. Jadi, saya kira kalau diberikan remisi ya mencederai rasa keadilan bagi masyarakat itu," jelasnya.
Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Surabaya, Miftah Faridl mengatakan, kasus pembunuhan jurnalis Prabangsa adalah satu-satunya kasus pembunuhan, maupun kekerasan terhadap jurnalis yang diputus secara hukum. Selama ini, pelaku kekerasan dan pembunuhan terhadap jurnalis selalu lepas dari jerat hukum, atau tidak terungkap secara tuntas. Pemberian remisi ini, kata Faridl, adalah bentuk praktek impunitas bagi pelaku kejahatan dan kekerasan yang masih banyak terjadi di masyarakat.
"Dari sepuluh kasus pembunuhan terhadap jurnalis sejak 1996, baru kasusnya Susrama kan yang terungkap, pelaku, otaknya, motifnya, semua dihukum. Nah, ini sebenarnya monumen, monumen buat kebebasan pers kita, bahwa ketika negara tidak bisa melindungi kerja-kerja jurnalistik, setidaknya negara hadir untuk menghukum mereka-mereka yang melakukan kekerasan terhadap jurnalis, dan kasus (terbunuhnya) Prabangsa ini menjadi momentum itu. Tapi ketika muncul remisi, ini sama saja dengan praktek impunitas, bahwa ketika kamu melukai jurnalis, ketika kamu kemudian membunuh jurnalis, ya kamu dengan mudah bisa diampuni oleh pemerintah, apalagi platform politikmu sama misalnya, ada kepentingan politik misalnya, atau ada kepentingan tertentu yang kemudian membuat remisi itu dihadirkan," kata Miftah Faridl.
Ditandatanganinya Keputusan Presiden mengenai pemberian remisi bagi pembunuh jurnalis, menurut Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Surabaya, Abdul Wachid Habibullah, merupakan kelalaian Presiden Joko Widodo yang tidak melihat secara detil setiap terpidana yang diajukan remisi oleh Kementerian Hukum dan HAM.
Wachid mendorong pemerintah memperhatikan rasa keadilan masyarakat sebelum mengambil sebuah kebijakan, agar tidak membuat kesalahan serupa terhadap pelaku kejahatan yang lain.
"Jangan-jangan Jokowi tidak membaca satu persatu persyaratan, dia hanya teken(tanda tangan) saja di Menteri Hukum dan HAM, dan ini menjadi polemik. Saya rasa ini yang menjadi perhatian bahwa bawahan dari Presiden ini harus dikoreksi, dalam hal ini Menteri Hukum dan HAM. Jangan sampai ke depan, ini sama, koruptor diremisi, teroris diremisi dan sebagainya, dan ini menjadi persoalan bagi pemerintah, kalau toh kebijakannya itu melawan rasa keadilan masyarakat, ya tentunya pemerintah ini tidak layak, dan bisa diberhentikan Menteri Hukum dan HAM," jelas Abdul Wachid Habibullah.
Pemberian remisi kata Herlambang, juga menjadi bukti belum dimilikinya perspektif HAM dan hukum pers oleh pemerintah. Selain hak asasi masyarakat untuk hidup dan mendapatkan perlakuan yang sama di mata hukum, kasus pembunuhan jurnalis ini juga berkaitan dengan kebebasan pers yang ingin memenuhi hak masyarakat untuk tahu terhadap sebuah kasus atau persoalan yang ingin diungkap oleh jurnalis kepada publik.
"Ada persoalan kebebasan pers yang melingkupi kasus ini, jadi bukan kasus pembunuhan biasa. Dan kebebasan pers yang hendak disasar di sini, itu sebenarnya, dibaliknya itu adalah soal akses informasi publik yang ingin tahu apa sebenarnya berita sesungguhnya. Nah, dua elemen ini sebenarnya persoalan hak asasi, atau kebebasan dasar yang harusnya dimiliki oleh warga negara Indonesia," imbuh Herlambang.
Sementara itu Abdul Rokhim, Pemimpin Redaksi Jawa Pos, grup surat kabar Radar Bali, media tempat Prabangsa bekerja, mengaku telah menyampaikan penolakan pemberian remisi terhadap Susrama, secara langsung kepada Presiden Joko Widodo saat berada di Surabaya, beberapa waktu lalu. Surat terbuka yang dibuat bersama sejumlah elemen masyarakat, menurut Rokhim adalah wujud aspirasi dan terusiknya rasa keadilan masyarakat akibat pemberian remisi bagi pembunuh jurnalis Prabangsa.
"Kami kemarin (Sabtu, 2 Februari 2019) bertemu Pak Jokowi langsung kan di Graha Pena, dan kami tanyakan langsung, dan seperti yang kami tulis, kami tanyakan ahwa ini tidak tepat, Pak Jokowi harus bersikap dan mencabut remisi itu, tegas, pendek kami sampaikan, dan respon pak Jokowi sangat mungkin (pencabutan) itu dilakukan, tentu kami tidak bisa melakukan langsung, kami butuh dua hal yakni rasa keadilan dan aspirasi masyarakat," jelas Abdul Rokhim.
"Kami bergabung dengan teman-teman AJI, Kontras, dan Ubaya, Unair, ini kan juga salah satu wujud itu. Kalau Pak Presiden membutuhkan aspirasi masyarakat, ini adalah aspirasi masyarakat, kami kirim ke Pak Presiden. Kalau Pak Presiden ingin mengetahui bagaimana rasa keadilan masyarakat yang ada saat ini, poin-poin yang kami tuangkan di surat itu adalah ekspresi dari rasa keadilan kami terusik dengan pemberian ampunan terhadap Susrama," imbuhnya.(pr/lt/voaindonesia/bh/sya) |