JAKARTA, Berita HUKUM - Setelah melalui sidang keempat, rangkaian sidang pemeriksaan perkara uji materiil Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan Undang-Undang Nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK) memasuki tahap akhir, pada Kamis (5/11).
Dalam sidang tersebut, Pemohon mengadirkan Chairul Huda, pakar hukum pidana dari Universitas Muhammadiyah Jakarta. Chairul menyampaikan keahliannya di hadapan Majelis Hakim yang dipimpin Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Arief Hidayat.
Chairul menyampaikan pendapatnya terkait dalil Pemohon yang menyatakan Pasal 82 ayat (1) huruf d KUHAP bertentangan dengan UUD 1945 karena bersifat multitafsir. Chairul membenarkan dalil tersebut. Sebab, kata Chairul, dalam praktiknya memang banyak menimbulkan penafsiran. Pasal 82 ayat (1) huruf d KUHAP menyatakan, dalam hal suatu perkara sudah mulai diperiksa oleh pengadilan negeri sedangkan pemeriksaan mengenai permintaan kepada praperadilan belum selesai, maka permintaan tersebut gugur.
“Ketentuan ini menurut pendapat saya walaupun sederhana tampaknya, tetapi menimbulkan banyak tafsiran di dalam praktik hukum. Terutama berkenaan dengan penggunaan frasa mulai diperiksa oleh pengadilan negeri,” ujar Chairul, di Ruang Sidang Pleno MK.
Chairul menjelaskan, banyaknya penafsiran terhadap Pasal 82 ayat (1) huruf d KUHAP, maka mengakibatkan munculnya persoalan dalam praktik praperadilan. Misalnya saja bila dihubungkan dengan Pasal 77 KUHAP. Pasal tersebut menentukan bahwa pengadilan negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus praperadilan. Bila dilihat dari ketentuan Pasal 77 KUHAP tersebut, Chairul mengatakan dapat diartikan bahwa praperadilan juga menjadi kewenangan pengadilan negeri.
“Kalau memang praperadilan juga menjadi kewenangan pengadilan negeri, mengapa permohonan praperadilan menjadi gugur ketika perkara mulai diperiksa di pengadilan negeri? Bukankah pemeriksaan praperadilan juga pemeriksaan di pengadilan negeri? Jadi karena menggunakan nomenklatur mulai diperiksa oleh pengadilan negeri ini, sebenarnya seolah-olah pemeriksaan di praperadilan itu bukan pemeriksaan di pengadilan negeri,” papar Chairul lagi.
Selain itu, ketentuan mengenai gugurnya praperadilan dalam Pasal 82 ayat (1) huruf d KUHAP juga akan menjadi multitafsir ketika dihubungkan dengan Pasal 147 KUHAP. Pasal 147 KUHAP menyatakan, setelah pengadilan negeri menerima surat pelimpahan perkara dari penuntut umum, ketua mempelajari apakah perkara itu termasuk wewenang pengadilan yang dipimpinnya. Sebab, jelas Chairul, kata mempelajari dalam Pasal 147 KUHAP juga memiliki pengertian memeriksa.
“Kata mempelajari dalam pasal ini (Pasal 147 KUHAP, red), dalam pengertian yang lebih umum, juga termasuk dalam pengertian memeriksa. Karena ketika ketua pengadilan negeri mempelajari surat dakwaan, pada dasarnya dia memeriksa, apakah dakwaan tersebut termasuk kompetensi relatifnya atau tidak. Nah, artinya, mulai memeriksa oleh ketua pengadilan negeri, juga boleh jadi menjadi makna mulai diperiksa di pengadilan negeri berkenaan dengan gugurnya praperadilan,” papar Chairul.
Setelah mengkaitkan Pasal 82 ayat (1) huruf d dengan beberapa pasal dalam KUHAP, Chairul menegaskan bahwa ketentuan gugurnya praperadilan dikarenakan perkara sudah mulai diperiksa oleh pengadilan negeri adalah mutitafsir. Chairul pun memberikan pandangannya, bahwa seharusnya frasa mulai diperiksa oleh pengadilan negeri dalam Pasal Pasal 82 ayat (1) huruf d KUHAP ditafsirkan setelah hakim menetapkan hari sidang dan memerintahkan penuntut umum memanggil terdakwa.
“Jadi menurut pendapat saya sekali lagi, Yang Mulia, bahwa jika frasa mulai diperiksa oleh pengadilan negeri itu ditafsirkan setelah hakim menetapkan hari sidang dan memerintahkan penuntut umum memanggil terdakwa, maka benarlah pada saat itu seseorang telah menjadi terdakwa dan kemudian secara logis seharusnya permohonannya kemudian masuk menjadi bagian dari permohonan-permohonannya yang diajukan di pokok perkaranya, tidak lagi kemudian diputus oleh hakim praperadilan,” tandasnya.
Untuk diketahui, Pemohon dalam perkara yang terdaftar dengan nomor 102/PUU-XIII/2015 ini adalah Bupati Kabupaten Morotai Periode 2012-2016, Rusli Sibua. Pemohon ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus tindak pidana suap terkait pemenangan sengketa perselisihan hasil pemilihan kepala daerah Kabupaten Morotai tahun 2011. Adapun ketentuan yang duijikan oleh Pemohon yakni Pasal 50 ayat (2) dan ayat (3) KUHAP yang mengatur hak tersangka agar perkaranya segera dimajukan ke pengadilan dan hak terdakwa agar perkaranya segera diadili oleh pengadilan. Pemohon juga menguji Pasal 82 ayat (1) KUHAP yang mengatur gugurnya permintaan praperadilan dikarenakan perkara sudah mulai diperiksa oleh pengadilan. Selain itu, Pemohon menguji Pasal 137 dan Pasal 143 ayat (1) KUHAP serta Pasal 52 ayat (1) dan ayat (2) UU KPK.
Menurut Pemohon, pasal-pasal yang diujikan tersebut telah disalahartikan dalam proses penegakkan hukum, khususnya dalam hal penanganan perkara tindak pidana suap yang disangkakan kepada Pemohon. Pemohon menceritakan, telah mengajukan permohonan praperadilan atas status tersangkanya. Namun, Pemohon menganggap ada unsur kesengajaan dari pihak KPK agar permohonan praperadilan Pemohon digugurkan.
“Mereka sengaja untuk menggugurkan praperadilan ini, karena untuk menggugurkan dengan alasan bahwa perkara sudah dilimpahkan. Padahal kami mengajukan praperadilan sebelum tersangka Bupati Rusli itu diperiksa sebagai tersangka sekalipun, dan bahkan pada tanggal tersebut juga masih belum ada pemeriksaan. Sehingga kami menilai bahwa hal ini telah dilakukan atau melanggar undang-undang atau melanggar KUHAP dan SOP KPK itu sendiri,” ujar Ahmad Rifai selaku kuasa hukum Pemohon pada sidang pendahuluan Rabu (9/9).(YustiNurulAgustin/IR/mk/bh/sya) |