JAKARTA, Berita HUKUM - Dewan Pengurus Pusat Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (DPP SBSI) yang diwakili Muchtar Pakpahan selaku ketua umum mengajukan uji ketentuan ruang lingkup kewenangan praperadilan dalam KUHAP. Sidang perdana perkara yang teregistrasi dengan nomor 35/PUU-XIII/2015 itu digelar pada, Senin (23/3) di Ruang Sidang Pleno Gedung Mahkamah Konstitusi (MK). Eci Tuasikal selaku kuasa hukum Pemohon menyampaikan pokok permohonan yang pada intinya meminta Mahkamah untuk menyatakan Pasal 77 KUHAP sah menurut UUD 1945.
Pada sidang yang dipimpin Hakim Konstitusi Suhartoyo, Eci Tuasikal menyampaikan bahwa Pemohon mengajukan pengujian terhadap ketentuan ruang lingkup kewenangan praperadilan yang terdapat dalam Pasal 77 KUHAP. Pasal a quo menyatakan pengadilan negeri (PN) berwenang untuk memeriksa dan memutus tentang sah atau atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan, atau penghentian penuntutan. Pada poin b di pasal yang sama juga menyatakan PN berwenang memeriksa dan memutus tentang ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan.
Eci Tuasikal selaku kuasa hukum Pemohon dalam persidangan mengungkapkan permohonan ini diajukan dengan latar belakang kasus Komisaris Jenderal Budi Gunawan yang telah mengajukan gugatan praperadilan terhadap KPK di PN Jakarta Selatan setelah ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK. Pemohon merasa prihatin karena PN Jaksel menerima pendaftaran permohonan praperadilan tersebut. Bahkan belakangan, PN Jakses mengabulkan gugatan bahwa penetapan status tersangka terhadap Komjen Budi Gunawan adalah tidak sah dengan berbagai alasan.
Salah satu alasan yang dipakai PN Jaksel saat mengabulkan permohonan Budi Gunawan yakni proses penetapan tersangka merupakan bagian dari penyelidikan dan penyidikan. PN Jaksel juga menyatakan proses penyelidikan dan penyidikan berujung pada penangkapan dan penahanan yang merupakan bagian dari praperadilan. Masih mengutip pendapat PN Jaksel, Eci Tuasikal mengatakan meski dalam Pasal 77, Pasal 82 ayat (1), Pasal 95 ayat (1) dan ayat (2) KUHAP serta Pasal 1 angka 10 KUHAP tidak disebutkan penetapan tersangka termasuk objek praperadilan namun PN Jaksel beralasan bukan berarti jika tidak disebutkan lalu dianggap bukan wewenang praperadilan. Mengutip Undang-Undang Kehakiman, hakim yang menangani perkara tersebut mengatakan bahwa Hakim memiliki wewenang mengadili sebuah perkara yang belum ada di dalam aturan untuk memberi tafsir yang dapat dipertanggungjawabkan.
Menurut Pemohon, karena Pasal 77 KUHAP merupakan undang-undang maka yang bisa mengganti kandungan di dalamnya hanyalan peraturan perundang-undangan yang berada di atasnya. Sehingga, alasan PN Jaksel, khususnya alasan hakim yang memeriksa perkara praperadilan Budi Gunawan tersebut tidak dapat dibenarkan. “Perubahan atau penambahan terhadap Pasal 77 Undang-Undang KUHAP tidak dapat dilakukan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan melalui Putusan Nomor 04/PIT/Pra/2015/PN Jakarta Selatan (Putusan perkara praperadilan Budi Gunawan, red). Kewajiban Pengadilan Negeri Jakarta Selatan adalah menaati undang-undang,” tegas Eci Tuasikal.
Bahwa dengan secara tidak langsung menetapkan penetapan tersangka termasuk objek praperadilan, PN Jaksel lewat putusannya dianggap Pemohon telah merusak tatanan hukum. Oleh karena itu dalam petitumnya, Pemohon meminta kepada Mahkamah untuk menyatakan Pasal 77 KUHAP sah menurut UUD 1945. Selain itu Pemohon meminta Mahkamah menyatakan segala peraturan dan atau putusan yang tidak sesuai dengan Pasal 77 KUHAP, seperti menambah dan mengurangi, merupakan tindakan yang tidak sah dan tidak mengikat.
Saran Hakim
Menanggapi permohonan Pemohon, Patrialis Akbar selaku anggota panel hakim meminta Pemohon untuk menegaskan kembali bentuk permohonannya apakah menguji konstitusionalitas norma Pasal 77 KUHAP atau menguji implementasi norma. “Mahkamah Konstitusi salah satu kewenangannya adalah menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar. Apanya yang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar itu yang kita uji, apakah dia diskriminatif, apakah merugikan hak-hak setiap orang setiap warga negara terhadap undang-undang. Jadi, bukan persoalan implementasi. Mahkamah tidak berwenang menilai satu proses peradilan yang dilakukan oleh lembaga lain,” tegas Patrialis.
Hal serupa juga disampaikan Hakim Konstitusi Aswanto. Ia menyatakan kerugian konstitusional yang dialami Pemohon belum terlihat dalam argumentasi permohonan. Terlebih, Mahkamah juga tidak bisa menguji pertentangan antara Pasal 77 KUHAP yang dimohonkan Pemohon dengan putusan praperadilan PN Jaksel. “Jadi kalau antara undang-undang dengan putusan itu jelas tidak menjadi lingkup kewenangan Mahkamah. Anda harus bekerja keras untuk kemudian mengelaborasi kembali agar Mahkamah bisa yakin bahwa apa yang Saudara uji memang adalah persoalan konstitusional,” saran Aswanto.(YustiNurulAgustin/mk/bh/sya) |