JAKARTA, Berita HUKUM - Sesuai dengan Ketetapan MPR-RI Nomor 9 Tahun 2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam (SDA), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)-RI telah merampungkan pembahasan konsep Randangan Undang-Undang Agraria yang diharapkan menjadi pengganti Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) Nomor 5 Tahun 1960.
Ketua Komisi II DPR-RI Agun Gunanjar Sudarsa dalam Coffee Morning/Diskusi dengan tema “Potensi Konflik Penguasaan Lahan” mengatakan, konsep RUU Agraria itu telah diselesaikan oleh DPR-RI sekitar tiga minggu lalu, dan kini sudah dikirimkan kepada Presiden RI untuk mendapatkan Amanat Presiden (Ampres) agar bisa dibahas oleh pemerintah dan DPR.
“Kami harapkan dalam 2-3 minggu ini Ampres bisa segera turun, sehingga kita bisa segera membahas RUU tersebut,” kata Agun Gunanjar dalam diskusi yang diselenggarakan di Aula Gedung 3, Lantai I Sekretariat Negara, Senin (29/4) pagi.
Menurut Agun, sesuai dengan Ketetapan MPR Nomor 1 Tahun 2003, Tap MPR No. 9/2001 itu tidak termasuk yang ditinjau. Karena itu, TAP MPR yang mengamanatkan perubahan terhadap Undang-Undang Pokok Agraria harus dilaksanakan.
Namun, menurut Agun, sudah sekian lama pemerintah tidak juga menyerahkan konsep RUU Agraria sebagai pengganti UUPA No. 5/1960 untuk dibahas dengan DPR. Untuk itulah, DPR mengambil inisiatif sebagai pemrakarsa perubahan dengan menyelesaikan konsep RUU dimaksud, dan sudah diketok palu oleh DPR.
Harus Daftar Ulang
Dalam diskusi itu, Ketua Komisi II DPR-RI sedikit membuka bocoran mengenai isi konsep RUU Agraria yang disusun DPR-RI, di antaranya meminta kepada pemerintah agar dalam waktu 5 tahun mendaftarkan kembali kepemilikan lahan yang dikuasainya hingga sekarang.
“Dalam RUU Agraria itu mewajibkan kementerian, lembaga pemerintah non kementerian, pemerintah provinsi, maupun pemerintah kabupaten/kota untuk mendaftarkan kembali kepemilikan lahan dan bangunan yang selama ini diklaim sebagai miliknya,” ungkap Agun.
Bahkan, lanjut Agun, pada pasal 101 konsep RUU itu ditegaskan seluruh Undang-Undang sektoral di bidang kehutanan, perkebunan, pertambangan, minyak, dan gas bumi dinyatakan tidak berlaku lagi seusai RUU itu disahkan menjadi Undang-Undang.
Menurut Ketua Komisi II DPR itu persoalan tumpang tindih penguasaan dan pemilikan lahan di tanah air sudah sangat akut. Ia pesimistis masalah tersebut bisa diselesaikan, baik melalui dibentuknya Norma, Standar, Prosedur, dan Kriteria dari masing-masing sektoral ‘penguasa’ lahan, maupun melalui pembuatan One Map (Satu Peta Dasar) sebagaimana yang diusulkan oleh Badan Informasi Geospasial. (BIG).
“Semua itu tidak akan menyelesaikan masalah karena datanya tidak ada. Demikian juga dengan usulan Kemendagri mengenai perbaikan NSPK, tidak akan menyelesaikan masalah,” ujar Agun.
Ia mengajak semua pihak kembali kepada Ketetapan MPR Nomor 9 Tahun 2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan SDA, dengan merubah UUPA No. 5/1960 sebagai basis data baru kepemilihan atau penguasaan lahan.(hms/es/skb/bhc/rby) |