JAKARTA, Berita HUKUM - Mahkamah Konstitusi memutus tidak dapat menerima permohonan yaitu Koramen Haulian Sirait dan Dolfijn Max Lawalata, dalam pengujian sejumlah pasal dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, atau UU Pemilu Legislatif, dan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, atau UU Pilpres.
Dalam sidang pengucapan putusan Perkara Nomor 43/PUU-XII/2014, Kamis (22/1) lalu, yang dipimpin Ketua MK, Arief Hidayat, Mahkamah berpendapat bahwa alasan permohonan para Pemohon bertentangan satu sama lain. Di satu sisi para Pemohon menguraikan bahwa proses input data dan proses rekapitulasi penghitungan suara melalui sistem informasi harus transparan dan dapat dipertanggungjawabkan seperti dinyatakan dalam Pasal 173 ayat (1) UU Pileg dan Pasal 248 UU Pilpres. Namun di sisi lain, para Pemohon menguraikan bahwa pembentukan Pasal 173 ayat (1) UU Pileg dan Pasal 248 UU Pilpres tidak jelas rumusannya sehingga tidak memiliki kedayagunaan dan kehasilgunaan.
Selain itu, Mahkamah melihat antara posita dengan petitum permohonan para Pemohon tidak konsisten satu sama lain. Dalam argumentasi permohonan, para Pemohon juga memohon pengujian formil atas Pasal 173 UU Pileg dan Pasal 248 UU Pilpres, namun dalam bagian tuntutan, para Pemohon tidak memohon putusan terkait pengujian formil dimaksud. Di samping itu, pengujian formil bukan menyangkut pasal dalam Undang-Undang melainkan berkenaan dengan pembentukan Undang-Undang yang tidak memenuhi ketentuan pembentukan Undang-Undang berdasarkan UUD 1945. Dengan pertimbangan tersebut, Mahkamah memutus tidak dapat menerima permohonan pemohon.
Sebelumnya, para pemohon mengajukan pengujian UU Pileg dan UU Pilpres karena merasa bahwa dalam pasal-pasal yang dimohonkan untuk diuji dalam kedua UU tersebut terdapat ketidakkonsistenan terkait dengan syarat Warga Negara Indonesia yang memenuhi syarat sebagai pemilih. Para Pemohon juga menilai, ketentuan yang mengatur pemilih untuk dapat berpartisipasi dalam Pemilu legislatif dalam UU ini saling bertentangan satu sama lain, sehingga Pemohon menganggap hal tersebut menyebabkan ketidakpastian hukum dan mengakibatkan kerugian konstitusional bagi mereka.
Dengan argumentasi itu, Pemohon meminta kepada MK untuk membatalkan pasal-pasal yang mengatur syarat warga negara terdaftar dalam DPT dan tata cara perbaikan DPT, serta memberikan rekomendasi kepada DPR untuk membuat peraturan pelaksana dari ketentuan tersebut.
Dalam sidang Pemeriksaan Pendahuluan pada Rabu, 7 Mei 2014, Majelis Hakim selain memberikan nasihat, juga memberitahukan kepada Pemohon bahwa permasalahan penggunaan KTP atau identitas lainnya yang sah pernah diputus oleh MK, yaitu pada putusan perkara 102/PUU-VII/2009. selain itu, terkait permintaan untuk memberikan rekomendasi tata cara peraturan pelaksaanan Pemilu, Majelis mengungkapkan juga sudah menegaskan kepada Pemohon, bahwa MK tidak memiliki kewenangan memberikan masukan pada DPR, namun pemohon tetap berpendirian pada argumentasi dan tuntutan awal.(ilham/mk/bhc/sya) |