JAKARTA, Berita HUKUM - Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang perdana uji Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang – Perkara Nomor 38/PUU-XII/2015 - yang diajukan oleh Ali Nurdin pada, Kamis (2/4) siang lalu, di ruang sidang pleno MK.
Kuasa hukum Pemohon, Andi Syafrani menyampaikan bahwa Pemohon yang merupakan bakal calon Bupati di Kabupaten Pandeglang merasa dirugikan dengan berlakunya ketentuan Pasal 7 huruf s UU a quo. Ketentuan tersebut mengatur bahwa anggota DPR, DPD, dan DPRD cukup memberitahukan pencalonannya sebagai kepala daerah dan wakil kepala daerah kepada pimpinan, sehingga tidak perlu mengundurkan diri.
“Cukup memberitahukan pencalonannya, tidak memberhentikan diri, inilah yang menurut Pemohon bisa merugikan Pemohon jika nanti Pasal 7 huruf s ini terus dilaksanakan,” kata Andi di hadapan panel hakim yang dipimpin oleh Wakil Ketua MK Anwar Usman.
Menurut Andi, Pasal a quo bertentangan dengan norma konstitusi yang menjamin persamaan kedudukan di dalam hukum dan pemerintahan sebagaimana tercantum dalam Pasal 27 ayat (1) UUD 1945. Lebih lanjut, Andi menyatakan bahwa terdapat perlakuan yang berbeda terkait dengan calon yang berlatar belakang TNI, Polri, PNS, atau pejabat BUMN/BUMD yang harus mengundurkan diri. Sedangkan anggota DPR, DPD, dan DPRD cukup memberitahukan saja, tidak mengundurkan diri. Menurut Andi kondisi tersebut menimbulkan ketidakadilan.
“Artinya nanti ketika mereka tidak terpilih, mereka bisa kembali lagi duduk sebagai anggota DPR, DPD maupun DPRD. Inilah sebuah pengaturan yang tidak adil yang memperlakukan secara berbeda antara seseorang dengan yang lainnya,” papar Andi.
Selain itu, Andi juga menyatakan bahwa Pasal a quo bertentangan dengan prinsip-prinsip demokrasi sebagaimana diatur dalam Pasal 18 ayat (4) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Untuk itu, Pemohon meminta kepada majelis hakim agar mengabulkan permohonan dan menyatakan Pasal a quo inskonstitusional bersyarat. Menurut Andi, jika Pasal a quo dinyatakan inskonstitusional, maka akan terjadi kekosongan hukum terkait dengan pencalonan kepala daerah yang berlatar belakang anggota DPR, DPD dan DPRD.
“Mengabulkan permohonan Pemohon seluruhnya, yang kedua menyatakan Pasal 7 huruf s Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai memberitahukan pengunduran diri karena, jadi ada tambahan redaksi disana Yang Mulia,” jelas Andi.
Setelah mendengarkan pokok permohonan, Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams memberikan saran agar Pemohon lebih memperkuat alasan mengapa konflik kepentingan bertentangan dengan konstitusi. Karena apabila merujuk pada risalah pembahasan undang-undang, lanjut Wahiduddin, pengaturan konflik kepentingan berdasarkan pengalaman-pengalaman yang terjadi dalam pemilihan kepala daerah.
“Dulu kan alasan pemerintah memasukkan ini (konflik kepentingan) kan pengalaman-pengalaman selama ini ya, karena pengalaman lalu juga,” kata Wahiduddin. “Coba diberikan contoh-contoh, bahwa tidak selamanya hubungan petahana itu seperti yang digambarkan, sehingga ada ketentuan ini,” tambah Wahiduddin.
Sementara itu, Hakim Konstitusi Muhammad Alim mengingatkan bahwa terdapat putusan MK yang berkaitan dengan permohonan Pemohon. “Ada putusan MK yang berkaitan dengan calon yang mempunyai kedudukan, misalnya Bupati, itu kan umum, sedangkan DPR itu kan kolektif, itu ada putusan mengenai itu, tolong diperhatikan itu,” kata Alim. Selain itu, Alim juga meminta agar Pemohon memperbaiki dan melengkapi redaksional petitum dalam permohonan. Kemudian Hakim Konstitusi Anwar Usman mengingatkan kepada Pemohon untuk memperbaiki permohonan dalam jangka waktu paling lambat 14 hari.
Dihubungi secara terpisah, Ali Nurdin menyatakan bahwa dirinya bukan pegawai BUMN/BUMD, TNI, Polri maupun PNS, sehingga tidak ada keharusan mengundurkan diri sebagaimana diatur dalam Pasal a quo. Namun menurutnya, pengunduran diri oleh PNS, pegawai BUMN/BUMD, TNI mupun Polri esensinya adalah mereka menikmati fasilitas dari negara. Hal yang sama juga dinikmati oleh anggota legislatif. Lebih lanjut, Ali menjelaskan bahwa tidak adanya ketentuan mundur bagi anggota legislatif ketika mencalonkan diri sebagai kepala daerah dan wakil kepala daerah, maka akan mengakibatkan kempetisi yang tidak adil bagi calon lainnya karena anggota legislatif tetap menikmati fasilitas negara.
“Jadi kalau ini kemudian tidak ada keharusan mundur bagi DPR, persaingan itu, kompetisi politik itu menjadi tidak fair. Ada pihak yang boleh mendapatkan dukungan dari negara, pihak lain tidak, padahal UUD kita menyatakan bahwa semua warga negara kedudukannya sama di hadapan hukum,” jelas Ali, yang juga menjadi Wakil Rektor Universitas Mathla’ul Anwar, Banten.(TriyaIR/mk/bh/sya) |