JAKARTA, Berita HUKUM - Aksi tawuran remaja di Jakarta, semakin hari bertambah menjadi fenomena sosial. Jatuhnya korban jiwa, hal ini semakin mencorengkan wajah dunia pendidikan nasional. dalam hal ini, calon Gubernur yang akan dilantik yaitu Jokowi, telah membuat statement, ia mengaku akan menempuh cara khusus untuk menyelesaikan masalah tawuran yang masih laten terjadi di Jakarta. Ia akan menggunakan pola pendekatan khusus kepada para pelajar di Jakarta, Sabtu (29/9).
Jokowi menambahkan, dalam hal ini, harus ada intervensi kepada kelompok - kelompok pelaku tawuran, dengan cara mendatanginya langsung. Menurut Jokowi, upaya untuk mencegah tawuran ini harus ada penyadaran total untuk menyelesaikan persoalan ini. Karena faktornya sangat kompleks.
Tawuran pelajar di Jakarta masih sering terjadi. Tawuran dipicu oleh masalah - masalah sepele. Tidak jarang dalam tawuran tersebut, mereka menggunakan senjata tajam. seperti tawuran pelajar yang sampai merenggut jiwa. Kemarin, seorang pelajar tewas dalam tawuran antara siswa SMA 6 dan SMA 70 Bulungan, Jakarta Selatan.
Hampir senada dengan Jokowi, yaitu Dir PKPA Indonesia Ahmad Sofian,SH. MH (Mahasiswa S3 Fak Hukum UI) mengatakan kepada pewarta BeritaHUKUM.com, "permasalahan tawuran remaja merupakan aksi kenakalan remaja (Juvenile Deliguency), penyelesaiannya tidak bisa semata dengan pendekatan kriminalisasi oleh aparat penegak hukum, baik itu Polisi, Jaksa, dan Peradilan. Dalam pencegahan tawuran ini, tidak bisa serta merta digunakan penegakkan hukum murni, karena tidak akan menyelesaikan permasalahan terhadap korban dan pelaku itu sendiri", ujar pria kelahiran Medan pada 29 September 1971.
"Dikarenakan pihak pelaku dan kelompoknya akan terus menaruh dendam. karena rekan bagian dari kelompok meraka dijatuhi hukuman, dan ini akan terus berlanjut, maka harus dibedakan antara tawuran, kenakalan remaja (Juvenile Deliguency), dengan penyerangan", tambahnya.
Lanjutnya, "upaya pendekatan Restorative yang biasa disebut (Restorative Justice), di mana pihak terkait, keluarga korban, guru, komite sekolah, difasilitasi pertemuan dan disepakti perdamaian tertulis. Dan upaya ini memang harus ada penetapan dari pengadilan, bukan putusan vonis semata. Dalam hal ini, pihak keluarga korban harus berbesar hati menerima permohonan maaf dari pihak keluraga pelaku, serta menerima konvensasi dari pemerintah dan pihak pelaku. Kemudian, hal ini tidak bisa dilakukan bila pihak keluarga korban menolak", sebutnya.
"Di sinilah tugas dari pemerintah untuk memfasilitasi keluarga korban dan pihak penyerang. Jika tidak, ya begini terus. maka hal semacam ini akan terus terjadi lagi dan lagi, karena kedua belah pihak, masih merasa dirugikan. Yang di hukum juga merasa dirugikan, apa lagi pihak korban", ujarnya.
"Di negara - negara lain, hal ini sudah biasa dan dilaksanakan dalam hal pendekatan Restoratif dari kenakalan remaja. Sedangkan di Indonesia belum pernah dilakukan hal pendekatan semacam ini di Indonesia. Masih terus mengunakan pendekatan hukum murni yaitu Kriminalisasi terhadap pelaku kenakalan remaja. Jadi, ini harus jelas dibedakan, antara kenakalan remaja dengan penyerangan antar satu kelompok ke individu lain", pungkasnya.(bhc/put). |