JAKARTA, Berita HUKUM - Indonesia Democracy Watch (IDW) melangsungkan sesi Diskusi yang membahas polemik Eksaminasi Putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PT TUN) Medan tentang Sengketa Pilkada Nomor 10/G/PILKADA/PT TUN/MDN Thn 2015” Kabupaten Humbang Hasundutan, Provinsi Sumatera Utara (Sumut), yang diusung oleh Partai Golkar, Terhadap Putusan Pengadilan Tinggi TUN Medan.
Turut hadir dalam acara tersebut terkait Eksaminasi Putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Medan Nomor : 10/ G/ Pilkada/ PT-TUN MDN 2015, tanggal 15 Oktober 2015 tentang sengketa Pilkada Humbang Hasundutan, yakni Ketua Komisi II DPR Rambe Kamarulzaman, Pengamat Politik Indonesia Democracy Watch (IDW) Johnson Lumbantoruan, mantan Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta Lintong Oloan Siahaan, dan Pakar Hukum Tata Negara Universitas Andalas Saldi Isra, selaku narasumber di Kawasan Senayan, Jakarta, Selasa (3/11).
Seperti diketahui bahwasanya, Keputusan KPU no.126 ,1) Margantu Manullang / Ramses 2) Purba - Dosmar Banjarnahor / Saut Simamora, 3) Rimso Sinaga / Derincen Hasugian, kemudian pada Keputusan KPU no.181 , 4) Palbet Siboro / Henri Sihombing.
KPU harus datang ke PT-TUN, situasi seperti ini, segala upaya berkaitan dengan hukum dilanjutkan, ini sudah harus di eksekusi. Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PT TUN) Medan mengabulkan permohonan Harry Marbun untuk membatalkan putusan KPU no 126 tangal 24 Agustus 2015 no.181 tanggal 23 september 2015 tentang penetapan pasangan calon.
Dalam keputusan tersebut memerintahkan KPU Humbang Hasundutan menetapkan kembali pasangan calon dengan memasukan pasangan Harry Marbun / Momento Sihombing menjadi pasangan calon, namun KPU menindaklanjuti putusan PT TUN tersebut dengan membatalkan pasangan calon atas keputusan KPU no. 126 dan 181 serta menetapkan kembali.
Tapi KPU hanya menetapkan 3 pasangan calon saja, yakni Marganti Manullang / Ramses Purba, Dosmar Banjarnahor / Saut Simamora , Rimso Sinaga / Derincen Hasugian serta menerima berkas pendaftaran Harry Marbun / Momento Sihombing untuk dilakukan Verifikasi, sedangkan pasangan calon Palbet Siboro / Hendri Sihombing tidak ditetapkan, padahal pasangan tersebut tidak pernah dibatalkan melalui putusan PT TUN Medan.
Sementara itu, objek sengketa yang dimohonkan dari pihak pasangan Harry Marbun adalah keputusan KPU nomor 126 karena dengan adanya keputusan itu, Pasangan mereka menjadi pihak yang dirugikan, karena mengakibatkan pasangan mereka tidak menjadi pasangan calon.
Sedangkan, keputusan KPU nomor 181 tentang penetapan Palbet Siboro/ Hendri Sihombing bukan yang mengakibatkan ke gagalan pasangan tersebut menjadi calon, namun karena tidak memiliki dokumen persyaratan dukungan Partai Politik.
Merujuk pada UU nomor 8 tahun 2015 tentang perubahan atas UU nomor 1 tahun 2015 tentang penetapan Perppu nomor 1 tahun 2014 tentang pemilihan Gubernur, Bupati, Walikota menjadi UU pasal 154 menyebutkan "Penyelesaian sengketa administrasi pilkada di Pengadilan Tata Usaha negara baru dapat dilaksanakan setelah seluruh upaya hukum di Bawaslu Provinsi dan di Panwas Kabupaten / kota sudah dilaksanakan."
Pasangan Harry Marbun tidak pernah melakukan gugatan kepada Panwas Humbang Hasuduntan atas keputusan KPU nomor 181 tentang penetapan pasangan Palbet Siboro, namun sudah digugat kepada PT TUN, sehingga melanggar Pasal 154 UU nomor 8 tahun 2015.
Rambe Kamarulzaman, M.Sc., M.M sebagai Ketua Komisi II DPR – RI dan seorang politikus Indonesia yang berasal dari Partai Golongan Karya mengatakan bahwa, dari daftar calon, kelima-limanya kemudian verifikasi karena itu aturan Undang-undang, gak boleh KPU ngelarang-larang," katanya, saat menyampaikan di sesi Diskusi ‘Sengketa Pilkada dan Eksaminasi Putusan PTTUN’ di kawasan Senayan, Restoran Pulau Dua, Jl. Jenderal Gatot Subroto. Jakarta, Selasa (3/11).
“Verifikasi dua pasangan calon ini mana yang memenuhi syarat, kalau enggak nanti ada keputusan politik. KPU dan PTTUN ini ya jangan melampaui Parpol, saya baca di penjelasan KPU itu sudah jauh melampaui putusan,” tegas Rambe.
Anggota DPR dari Fraksi Golkar yang juga berasal dari Dapil Humbang Hasundutan, Rambe Kamarul Zaman menanggapi bahwa, KPU telah salah menerjemahkan putusan PTTUN Medan. Menurutnya, perintah untuk memasukkan Harry Marbun-Momento Sihombing dalam verifikasi pencalonan, tanpa menyampingkan paslon Palbet-Henry yang diputus oleh Panwas.
“Saat rapat dengar pendapat dengan KPU dan Bawaslu RI, letakanlah ini secara Hukum. KPU ini tidak benar dalam menafsirkan dan menjabarkan putusan PTUN ini. Harusnya ya enggak pro kemana-mana,” jelas Rambe Kamarul Zaman.
Ia mengatakan, KPU bisa menindaklanjuti putusan PT-TUN tanpa mengabaikan putusan dari Panwas juga, yakni dengan memasukkan kedua-duanya dalam proses verfikasi pendaftaran.
"Tapi kita letakkan dalam posisi yang benar. Oleh karena itu kelimanya diverifikasi. Aturan tidak boleh menyalahi hingga tanggal 15 November ini. Harus dikeluarkan kelima Calonnya, dan Keputusan dari TUN begitu," ujarnya.
"KPU berbeda, ini daftar karena ada 'Hari Marbun', kenapa tidak didaftar semua, daftar semua. Daftar saja, sebab kenapa hanya Hari Marbun daftar ? apakah KPU dan PT-TUN melampau hak konstitusional daripada parpol ??", tanyanya lagi.
Sementara itu, Prof. Dr. Saldi Isra, S.H., MPA selaku Pakar Hukum Tata Negara menyampaikan bahwa, Komisi Pemilihan Umum (KPU) teliti dalam menerjemahkan putusan sengketa Pilkada serta mestinya bisa cermati apabila putusan tersebut berpotensi menimbulkan persoalan atau ditempuh secara tidak benar, karena berimplikasi munculnya persoalan baru di Pilkada," ujar Prof Saldi Isra.
Menurutnya putusan Pengadilan memang harus dilaksanakan. Tapi kalau ada yang tidak benar, KPU melihat ini, ya bisa mengajukan kasasi meski di Undang-undang itu semestinya peserta Pilkada,” kata Prof Saldi, yang merupakan guru Besar Universitas Andalas.
Hal tersebut diungkapkan Prof Saldi Isra berkaitan dengan sengketa pencalonan di Pilkada Humbang Hasundutan, Sumatera Utara. Sengketa itu menimbulkan persoalan akibat dua putusan dari Panwas setempat dan PT-TUN Medan, memerintahkan untuk megakomodir dua pasangan calon berbeda dari partai yang sama.
Hasilnya, KPU setempat yang sebelumnya menetapkan pasangan calon dari hasil rekomendasi Panwas pasangan Palbet Siboro-Henri Sihombing, kemudian menindaklanjuti putusan PT-TUN untuk menerima pendaftaran Harry Marbun-Momento Sihombing. Mereka tidak menyertakan pasangan Palbet-Henry.
Padahal diketahui, pasangan Palbet-Henry lah yang memperoleh rekomendasi dari DPP Partai Golkar. “Kritik saya ya itu, kenapa dukungan DPP tidak terelaborasi di PTTUN Medan?. Artinya ada yang salah dengan putusan ini, meski ini harus tetap dilaksanakan,” ujarnya.
Sedangkan pada kesempatan dan waktu yang sama, menurut pandangan pengamat politik Indonesia Democracy Watch (IDW) Johnson Lumbantoruan mengatakan bahwa, putusan PT TUN Medan mengabulkan gugatan pasangan Harry Marbun telah menimbulkan kekacauan penyelenggaraan Pilkada, khususnya di kabupaten Humbung Hasundutan.
Sehubungan dengan Harry Marbun tidak memiliki dukungan partai politik atau gabungan parpol sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang. "Klaim telah memiliki rekomendasi dari Parpol Golkar versi Munas Bali yang ditandatangani oleh Aburizal Bakrie dan Idrus Marham diperoleh pada 27 Juli 2015, perlu menjadi catatan. Namun telah dibatalkan oleh Partai Golkar versi Munas Bali sendiri pada 28 Juli 2015, dan melakukan pergantian nama dari Harry Marbun menjadi Palbet Siboro / Hendri Sihombing yang ditandatangani oleh Aburizal Bakrie sebagai Ketua Umum dan Idrus Marham sebagai Sekjen.
"Maka bila Putusan PT-TUN dijalankan KPU Humbang Hasundutan, maka UU nomor 8 tahun 2015 dapat dikesampingkan oleh putusan PT-TUN, bulan ini yang terjadi malah tidak ada kepastian hukum dalam penyelenggaraan Pemilu Pemilihan Kepada Daerah," ungkap pengamat politik dari IDW, Johnson Lumbantoruan.
"Pengabulan permohonan Harry Marbun agar KPU HH memasukkan menjadi pasangan calon dapat dimaknai bahwa, pasangan calon dapat menjadi peserta Pilkada tanpa harus memiliki persyaratan dukungan Parpol atau gabungan Parpol Minimal 20 persen kursi DPRD dari jumlah kursi DPRD di kabupaten bersangkutan," jelasnya.
KPU sebagai penyelenggara Pemilu harus profesional dan tidak parsial dalam menjalankan fungsinya. Dalam menerjemahkan putusan PT TUN, KPU harus mempertimbangan substansi penyelenggaraan Pemilu sebagaimana dimaksud UU nomor 8 tahun 2015
Menjalankan putusan PT TUN untuk memasukan Harrus Marbun sebagaii pasangan calon tidak bisa mengabaikan UU nomor 8 tahun 2015, sekalipun dikabulkan oleh PT TUN. Bahwa pasangan calon yang didukung parpol harus mendapat rekomendasi dari Parpol atau gabungan Parpol dengan minimal 20 persen dari jumlah kursi DPRD di Kabupaten yang bersangkutan adalah persyaratan prinsip dalam penyelenggaraan Pilkada yang Demokratis.
Selain itu, dari pihak KPU tidak bisa membatalkan pasangan calon yang sudah tetapkan sendiri menjadi pasangan calon yang telah memenuhi persyaratan administrasi terutama persyaratan dukungan Parpol atau Gabungan parpol minimal 20 kursi dari jumlah anggoota DPRD dikabupaten bersangkutan, papar Johnson Lumbantoruan
Kemudian, Dr. Lintong Oloan Siahaan, SH, MH sebagai mantan Hakim PT TUN Jakarta sebagai nara sumber menyampaikan bawah, wacana dalam sesi diskusi ini perlu ditelaah dan dipahami bahwa, "ini ibaratnya semacam putusan PTUN vs KPU. Yang mana yang lebih dominan?," ujarnya.
Beliau juga mengutarakan kalau putusan Pengadilan tingkat I, Banding, kemudian Kasasi. Lalu, "putusan PTUN dalam UU ini masih bisa di kasasi, namun sampai saat ini belum kasasi?," jelasnya, mempertanyakan mengapa KPU tidak ingin Kasasi.
"Tapi kalo pihak yang berkepentingan tidak mengajukan kasasi, setelah tenggang waktu lewat maka dia bisa Incraht," jelasnya lagi.
"Pada Amar kedua, menyatakan batal objek sengketa. Itu tidak perlu dieksekusi, karena Otomatis berlaku dalam tempo 4 bulan," katanya.
Namun, berbeda halnya dengan kedua amar selain itu, "Amar selanjutnya yang memerintahkan tergugat mencabut, Serta menerbitkan yang baru dengan mencantumkan nama pengugat. Ini memerlukan eksekusi, terkait soalnya dengan pasal 116 UU ttg UU PTUN," imbuhnya.
Ia juga mengingatkan bahwa putusan pengadilan jika dipandang sesuai Common Law, maka putusan Pengadilan harus diterima harus dijalankan dalam sistem ketatanegaraan. Sesuatu yang bersengketa diselesaikan via putusan pengadilan. "Putusan Pengadilan sama seperti UU. Suka atau tidak suka harus dijalankan, untuk mengontrol ini harus "kasasi"," pungkasnya.(bh/ mnd) |