JAKARTA, Berita HUKUM - Djoko Edhi S Abdurrahman, selaku aktivis senior dan mantan Anggota DPR RI Komisi III yang menilai secara subtansi issue suku, agama, ras dan antargolongan (SARA) yang berhembus terkait peristiwa yang secara tidak langsung bergejolak kini adalah upaya menjauhkan masyarakat pemilih dari agamanya. Bahkan menurutnya, adanya perspektif dan indikasinya secara dialektika merupakan upaya mensekularisasi masyarakat.
"Ini sesuai dengan pemberitaan wikilieks, Desain kesepakatan China dan Amerika. Pindah ke urusan program dan seterusnya yang hanya bagian kecil dari visi misi para pasangan calon Kepala Daerah. Upaya menjauhkan masyarakat dengan Agamanya harus dilawan, sedangkan Agama adalah faktor statik yang tak bisa direkayasa," ungkap Djoko Edhi yang berprofesi sebagai Pengacara, Senin (17/10).
Dalam ilmu komunikasi bahwa, agama adalah faktor statik. Itu tak bisa dihindari dan tak bisa diubah. Upaya mengubah faktor statik adalah sama dengan mengubah moral agama dan moral budaya..
"Tampaknya Ahok tak paham itu, hingga nabrak nabrak. Penolakan terhadap demokrasi yang tujuannya menghasilkan demokrasi sekuler itu adalah keharusan. Moral agama mau dipisahkan dengan agamanya dan pindah ke moral Pilkada," jelasnya.
"Tentu saja tak sesuai dijalankan di negara religius seperti Indonesia, yang sesuai demokrasi demikian adalah di negara sekuler. Moral budaya mau dipisahkan dari kesukuannya menjadi moral Pilkada. Apa moral Pilkada itu? Jika itu terjadi yang terbentuk adalah demokrasi sekuler," imbuhnya khawatir.
Namun, sambung Djoko Edhi menambahkan, kalau secara faktanya saja di Pilpres Amerika yang sekuler pun, agama dan suku tetap dominan. Misalnya, dimana Presiden Obama secara terbuka mengajak afro Amerika dan kulit berwarna memilih Hillary, sementara Donald Trump menumpahkan kebenciannya terhadap kulit berwarna dan agama bukan kristen.
"SARA dihilangkan? Saya jelas tidak setuju. Anti SARA dahulu dianut Orde Baru untuk menyatukan masyarakat yang saat itu nasionalismenya belum terbangun. Setelah semua orang telah menerima Pancasila sebagai dasar negara, anti SARA malah kontra produktif dan pindah sasaran untuk mensekularisasi demokrasi," tuturnya.
Nasionalisme bukan untuk memisahkan masyarakat dari Agama dan Budayanya. Upaya itu harus dilawan. Nampaknya, ada yang ketidakberesaan pemikiran anti SARA dengan prototipe kini, yang hanya dipandang secara pragmatis, dan tanpa sadar adalah gerakan sekuler yang secara tidak langsung menyerang Agama dan Budaya.
Bila ditelisik dan dipahami lebih mendalam lagi, sambung Djoko Edhi yang mengulas kalau ini merupakan jebakan. Dimana menurutnya sebuah jebakan canggih, Pertama (1), Dijebak dengan demokrasi liberal. Demokrasi yang belum pernah dikonsep sejak UUD 45 diubah (Amandemen) menjadi UUD 2002. Tak ada lagi alat untuk mempertahankan tanah air seiring dengan lenyapnya pribumi.
Kemudian, jebakan Kedua (2), Dapat ditelusuri pada UUD 2002 mengenalkan HAM tipologi law of rule adalah HAM yang dianut oleh Amerika dan Inggris atau ras anglo saxon. Padahal HAM Indonesia adalah tipologi hukum Eropa (Eropa continental law).
Selanjutnya jebakan ketiga (3), Ketika Otonomi Daerah diubah dari UU nomor 5 tahun 1974 menjadi Undang-Undang Otonomi Daerah tingkat dua dari sebelumnya di tingkat satu. Dalam hal ini Demokrasi berubah menjadi total liberal, terpilihlah pemimpin yang tak layak. Lalu disusul UU Pilpres yang memilih tanpa filter. Terpilihlah SBY dan Jokowi.
Dan terakhir jebakan Keempat (4), Desain UUD 2002 hampir sama persis dengan UU RIS yang menghendaki Asing menjadi Pemimpin Negara. Jebakan terakhir ini, prasyaratnya adalah mengubah demokrasi Pancasila menjadi demokrasi sekuler.
"Padahal Konstitusi itu dimana pun berbasis Hukum Tata Negara (HTN). Pancasila secara HTN, dibangun oleh keempat unsur yang disebut sebagai Hukum Dasar, yakni: (1) Agama, (2) Adat, (3) Tradisi, (4) Kebiasaan. Nah, hasil 'oplos'an dari keempat unsur itulah yang disebut Pancasila," urainya.
"Bila mau mensekulerkan Pancasila, harus dimulai dari hukum dasar tadi. Di China, dilakukan dengan membuat Revolusi Kebudayaan, dimana dari Revolusi Kebudayaannya Guru Mao, lahir Revolusi Mental," pungkasnya.(bh/mnd)
|