JAKARTA, Berita HUKUM - Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR RI) Dr. H. M Hidayat Nur Wahid, MA mengapresiasi dan mendukung fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) terkait boikot produk Israel, serta mengusulkan perlu segera dihadirkannya Rancangan Undang - Undang (RUU) Boikot Produk Israel atau perusahaan yang membantu negara tersebut melakukan kejahatan perang di Palestina.
"RUU semacam ini dapat menjadi wujud konkret bangsa dan negara Indonesia dalam mendukung kemerdekaan bangsa Palestina yang telah berulangkali diutarakan Presiden Joko Widodo dalam banyak forum internasional,' ujarnya melalui siaran pers di Jakarta, Kamis (16/11).
HNW sapaan akrabnya menjelaskan bahwa keberadaan RUU ini dapat menunjukkan komitmen Indonesia kepada dunia terkait keberpihakannya kepada anti penjajahan yang dilakukan oleh Israel. "RUU semacam ini sangat penting untuk dihadirkan, agar selain memberikan kepastian hukum, juga memberikan kejelasan kepada masyarakat terkait produk-produk mana yang memang terlibat dalam kejahatan perang Israel di Palestina," jelasnya.
Lebih lanjut, HNW menggagas agar dibentuk suatu badan atau komite yang bertugas untuk menerima informasi dari masyarakat dan meneliti terkait perusahaan-perusahaan yang memasarkan produknya di Indonesia dan dicurigai terlibat dalam kejahatan Israel. Sehingga, masyarakat Indonesia sebagai konsumen dapat memperoleh haknya terkait informasi produk yang akan dikonsumsi atau digunakannya.
"Badan atau komite ini yang akan meneliti dan bila perlu mengklarifikasi kepada perusahaan-perusahaan tersebut. Apabila memang benar, mereka secara 'complicit' terlibat, maka perlu disampaikan kepada masyarakat. Dan apabila mereka membantah, dan di kemudian hari ada informasi atau data yang berbicara sebaliknya, perusahaan tersebut dapat digugat sejumlah ganti rugi ke pengadilan," gagasnya.
Jadi, tujuan dari RUU Boikot Produk Israel ini lebih pada penguatan desakan agar perusahaan yang "complicit" segera menghentikan dukungannya kepada pemerintah apartheid teroris Israel."
Wakil Ketua Majelis Syura Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ini mengatakan diskursus mengenai pembentukan RUU Boikot Produk Israel ini memang bukan yang pertama. Sebelumnya, pada 2018, Senator asal Irlandia Frances Black juga mengusulkan RUU serupa, yakni "Control of Economic Activity (Occopied Territories) Bill 2018". "RUU itu memang sebatas boikot impor produk dari Israel ke Irlandia, dan belum berhasil disahkan. Namun, ini menunjukkan gagasan ini sudah pernah diwacanakan di negara lain," tukasnya.
"Apabila di Irlandia yang tidak memiliki hutang sejarah kemerdekaan terhadap Palestina, seperti Indonesia saja, RUU semacam itu bisa dibahas di parlemen. Seharusnya di Indonesia, RUU semacam ini bisa dikembangkan dan diperjuangkan sampai disahkan, mengingat komitmen pemerintah Indonesia terhadap kemerdekaan Palestina. Dan itu menunjukkan kepada dunia bahwa komitmen itu bukan hanya sebatas lip service, tetapi dituangkan dalam kebijakan yang konkret," tukasnya.
Meski begitu, HNW memang menyadari ada tantangan secara teknis dalam mengusulkan RUU ini karena belum dimasukkan ke dalam Program Legislasi Nasional long-list (2019 - 2024). Namun, bukan berarti hambatan teknis ini tidak bisa diatasi. Ia merujuk kepada aturan Tata Tertib DPR RI yang menyatakan bahwa pengusulan RUU di luar prolegnas masih sangat memungkinkan.
Ia mengutip Pasal 114 ayat (4) Tata Tertib DPR bahwa dalam keadaan tertentu, DPR atau Presiden dapat mengajukan RUU di luar Prolegnas mencakup: (a) untuk mengatasi keadaan luar biasa, keadaan konflik, atau bencana alam; dan keadaan tertentu lainnya yang memastikan adanya urgensi nasional atas suatu RUU yang dapat disetujui bersama oleh Baleg dan Menteri Hukum dan HAM.
"Bila mengacu ketentuan itu. Keadaan yang saat ini terjadi di Gaza, Palestina, seharusnya sudah cukup membuat agar RUU Boikot Produk Israel untuk diajukan dan segera dibahas dan disahkan oleh DPR dan Pemerintah," pungkasnya.(MPR/bh/sya) |