JAKARTA, Berita HUKUM - Kecurangan pemilihan umum legislatif (pileg) yang terjadi secara sistematis dan massif menggambarkan buruknya sistem demokrasi di Indonesia. Kecurangan bahkan dilakukan oleh penyelenggara Pemilu hampir di setiap tingkatan.
Berdasarkan riset yang dilakukan Forum Akademisi IT (FAIT) terhadap hasil Pileg, dari 200 sampel Panitia Pemungutan Suara (PPS) di Kelurahan/Desa yang diambil secara acak diperoleh 15 persen terjadi kecurangan.
Kecurangan yang ditemukan berupa pemindahan suara antar Caleg di internal satu partai dan pemindahan suara antar Caleg antar partai. Demikian dikatakan Ketua Umum FAIT, Hotland Sitorus di Jakarta, Senin (9/5).
“Kami telah melakukan riset dengan mengumpulkan Model C1 dan membandingkannya dengan penghitungan terhadap Model DC 1 dan hasilnya memang ada yang berbeda.” Ungkap Hotland Sitorus yang juga dosen di Universitas Tanjungpura, Pontianak Kalimantan Barat.
Masih lanjut Hotland, “KPU harus mengevaluasi kinerja para penyelenggara pemilu. Orang-orang yang tidak kompeten dan tidak berintegritas tidak boleh menjadi penyelenggara pemilu. Kalau tidak, potensi kecurangan saat Pilpres tanggal 9 Juli 2014 sangat besar.”
Sementara itu, Sekjen DPP FAIT, Janner Simarmata mengatakan, “Sampel yang diambil dalam riset ini adalah secara acak dan terdistribusi proporsinal menurut jumlah TPS di masing-masing daerah.”
“Namun untuk memudahkan proses pengambilan sampel, wilayah dikelompokkan ke dalam 6 kelompok besar, yaitu; Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Bali-NTB-NTT dan Papua,” urai Janner Simarmata.
“Oleh karena itu, kami menyarankan agar KPU terbuka. FAIT siap membantu penyelenggara dan peserta Pilpres untuk mengawasi penggunaan perangkat IT KPU sebelum dan saat Pilpres nantinya.” jelas Janner Simarmata.
“Dugaan kecurangan ini dilakukan melalui penggunaan Sistem IT di PPS. Oleh karena itu, FAIT menghimbau agar Sistem IT yang digunakan di setiap tingkatan harus divalidasi.” Pungkas Janner Simarmata.(fait/bhc/sya)
|