JAKARTA, Berita HUKUM - Sidang pengujian Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja) kembali digelar Mahkamah Konstitusi (MK) secara virtual pada Rabu (18/11). Agenda sidang Perkara Nomor 87/PUU-XVIII/2020 ini adalah perbaikan permohonan yang disampaikan oleh Sekretaris Umum Federasi Serikat Pekerja Singaperbangsa (FSPS) Muhammad Hafidz.
"Berdasarkan saran para Yang Mulia Majelis Hakim Konstitusi pada persidangan pendahuluan tanggal 4 November lalu, Pemohon telah melakukan banyak perbaikan, di antaranya penambahan pasal yang diuji, yakni Pasal 4 huruf b, Pasal 6, Pasal 81 angka 13, angka 18, dan penjelasan angka 44 serta batu uji dalam Undang-Undang Dasar Tahun 1945, yaitu Pasal 22A dan Pasal 27 ayat (2)," kata Pemohon kepada Panel Hakim yang dipimpin Hakim Konstitusi Arief Hidayat.
Para Pemohon juga memperbaiki Kewenangan Mahkamah yaitu berupa penambahan ketentuan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan sebagai landasan salah satu Kewenangan MK dalam mengadili permohonan a quo. Sedangkan dalam kedudukan hukum, Pemohon terlebih dahulu menguraikan pasal-pasal yang diuji dan kemudian dilanjutkan dengan mencantumkan penjelasan Pasal 51 ayat (1) UU MK terkait dengan dasar hukum perorangan warga negara Indonesia yang termasuk pula kelompok orang yang mempunyai kepentingan sama.
Kemudian dalam alasan permohonan, para Pemohon telah menambahkan pasal yang diuji. Di antaranya Pasal 4 huruf b UU Cipta Kerja sebagai dasar dan landasan hukum dari aturan klaster ketenagakerjaan dalam UU Cipta Kerja. Pemohon menganggap ketentuan ini tidak memberikan jaminan pekerjaan, imbalan, dan perlakuan yang adil, serta layak dalam hubungan kerja.
Dalam perbaikan permohonan, para Pemohon juga meminta kepada Mahkamah untuk mempertimbangkan adanya upaya penolakan klaster ketenagakerjaan dalam UU Cipta Kerja yang masih berlangsung hingga saat ini melalui aksi-aksi unjuk rasa yang berkelanjutan. Selain itu, para Pemohon juga meminta Mahkamah dapat mempertimbangkan semakin bertambahnya beberapa pihak yang juga turut menguji klaster ketenagakerjaan dalam UU Cipta Kerja. Dengan demikian, secara otomatis penyelenggaraan persidangan akan membutuhkan waktu yang tidak sebentar.
Sebagaimana diketahui, para Pemohon adalah Pimpinan Pusat (DPP) Federasi Serikat Pekerja Singaperbangsa (FSPS) yang diwakili oleh Deni Sunarya (Ketua Umum) dan Muhammad Hafidz (Sekretaris Umum). Menurut para Pemohon, pengaturan jangka waktu perjanjian kerja waktu tertentu, tidak dapat dipisahkan dari undang-undang yang mengatur jenis dan sifat kegiatannya. Meskipun akan diatur lebih lanjut melalui Peraturan Pemerintah, namun apabila hendak diteliti secara seksama, maka sesungguhnya pasal undangundang a quo hanya ingin mengatur ulang pengaturan jangka waktu, batas perpanjangan dan pembaharuan perjanjian kerja waktu tertentu. Sehingga menjadi patut dipertanyakan keinginan atau maksud sebenarnya dari pembentuk undang-undang atas perubahan Pasal 59 UU No. 13/2003.
Para Pemohon beranggapan, pengaturan ulang hanya dapat dilakukan dalam rangka memberikan kepastian hukum atas pelaksanaan suatu undang-undang. Sedangkan ketentuan Pasal 59 UU No. 13/2003 ditambah dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 7/PU-XII/2014 telah memberikan kejelasan rumusan norma syarat jenis dan sifat kegiatan tertentu hingga pada pengaturan jangka waktu, batas perpanjangan serta pembaharuan perjanjian kerja waktu tertentu. Bahwa pembatasan jangka waktu bagi pekerjaan tertentu yang bersifat sementara, untuk menjamin perlindungan kepada buruh yang diikat dengan sebuah perjanjian kerja waktu tertentu.
Akibat jika tidak diberikan batasan waktu, pemberi kerja dapat memperjanjikan pekerja dengan perpanjangan dan/atau pembaharuan perjanjian kerja waktu tertentu berkali-kali, sehingga maksud dari adanya pengaturan jenis dan sifat atau kegiatan tertentu yang sangat erat hubungannya dengan waktu tertentu menjadi kehilangan makna dan dapat diimplementasikan secara menyimpang, yang berujung pada semakin terbukanya kemungkinan terjadi perselisihan hubungan industrial. Sedangkan Pasal 81 angka 19 UU Cipta Kerja menghapus ketentuan Pasal 65 UU No. 13/2003 yang memuat syarat-syarat batasan pekerjaan yang dapat diserahkan dari pemberi kerja kepada perusahaan penyedia jasa pekerja. Hal demikian telah memberikan ruang kepada pemberi kerja untuk dapat menyerahkan seluruh jenis pekerjaan apapun kepada penyedia jasa pekerja.
Dengan kata lain, menurut para Pemohon, seluruh jenis pekerjaan dapat dialihdayakan (outsourcing). Terlebih perjanjian kerja antara pekerja dengan perusahaan penyedia jasa pekerja, dapat juga diberlakukan dengan perjanjian kerja waktu tertentu. Dampaknya, pekerja akan mengalami eksploitasi untuk kepentingan keuntungan bisnis, karena telah memisahkan tanggung jawab hubungan kerja perusahaan pemberi kerja dengan pekerja. Hal demikian, justru mengaburkan aspek jaminan dan perlindungan terhadap pekerja outsourcing.(NanoTresnaArfana/MK/bh/sya). |