JAKARTA, Berita HUKUM - Eks Relawan Jokowi, Ferdinand Hutahaean yang kini sebagai Pimpinan Rumah Amanah Rakyat menilai, mungkin pada awalnya Ahok merasa bahwa ucapannya di Pulau Seribu pada 27 September 2016 lalu tidak akan berdampak sebesar sekarang ini.
"Mungkin Ahok merasa paling kuat yang timbul cuma riak kecil dari kalangan ormas Islam yang selalu dicap radikal, ditambah lagi parahnya, bahwa patut diduga Presiden Jokowi pun terlihat berpikir dan merasa hal yang sama dengan Ahok," ungkap Ferdinand.
Dalam peristiwa ini, Ferdinand menyatakan, Presiden sama sekali tidak menduga bahwa yang dilakukan Ahok tersebut kemudian akan menyasar pada jabatan Presiden sebagai taruhan situasi ini.
"Inilah awal kekeliruan dari banyak kekeliruan yang kemudian dilakukan oleh Presiden Jokowi," cetus Ferdinand.
Bahkan terlihat, menurut Ferdinand dimana langkah yang diambil Presiden hingga sekarang tidak satupun menyentuh akar masalah dan tidak satupun menjadi solusi. "Bahkan terlalu banyak pernyataan keliru dari presiden yang membuat situasi secara umum menjadi semakin tidak menentu," paparnya.
Presiden pernah menyatakan bahwa, negara tidak boleh kalah kepada ormas apapun, bahkan ada media yang mengutip judul berita sbb : "Jokowi: Negara harus kuat, tidak boleh Polri kalah kepada kelompok perusak".
"Presiden tentu benar bahwa Negara tidak boleh kalah dari apapun dan dari siapapun. Tapi Presiden sepertinya lupa bahwa, Negara dengan Pemerintah adalah dua hal yang berbeda," jelasnya mengingatkan.
Pemerintah boleh kalah dan harus kalah kepada kebenaran hukum, kepada suara mayoritas, karena pemerintah ada berasal dari rakyat dan rakyat adalah komponen pembentuk negara, rakyat adalah negara.
"Kekeliruan presiden dalam hal ini adalah menempatkan pemerintah sebagai negara, dan rakyat seolah jadi perusak. Kekeliruan demi kekeliruan terus bergulir deras dari istana," kriktiknya.
Lebih lanjut lagi nampaknya kekeliruan paling fatal dari presiden adalah presiden terlambat bersikap dan meski sudah terlambat tapi salah memilih sikap. "Presiden tidak memilih kebenaran materil hukum dan memilih kebenaran politis yang berbasis persepsi sepihak," tudingnya.
Padahal, sejatinya dimana para Ulama sudah jelas menyatakan sikap atas penistaan agama yang dilakukan Ahok, terang Ferdinand.
"Seharusnya presiden dan Polri bersikap mengikuti pendapat Ulama, karena hanya ulama- lah yang menjadi tempat bertanya mengenai agama dan tafsirnya. Bukan kepada para politisi dan bukan kepada para buzzer bayaran di media sosial," urainya.
Pusaran kekeliruan kini semakin menjadi-jadi dan semakin besar meliputi Presiden. Tidak menemui aksi umat pada 4/11 adalah kekeliruan yang tidak seharusnya dilakukan Presiden.
"Safari politik dukungan kepada Ahok terus berlangsung dengan mengunjungi ormas-ormas Islam, serta mengundang beberapa ulama dan tokoh ke istana," ujarnya, yang seraya merasa heran.
Bahkan, terlihat pula sungguh mencengangkan seorang Presiden harus bersusah payah dan berkeringat (meski mungkin keringat dingin) melakukan upaya meredam aksi umat Islam yang membela aqidah yang diyakininya.
"Seraya ini hanya sebuah pekerjaan sia-sia yang tidak akan menghasilkan apa-apa. Padahal solusinya sangat mudah, memproses Ahok sesuai KUHP," tegasnya.
"Dengan Pasal 156 a, menahan Ahok sebagai tersangka karena ini pidana berat, maka hak subjektif penyidik harus dikesampingkan demi stabilitas dan kondusifitas negara. Maka publik kembali akan tenang dan pulang kerumah mengawasi proses hukum berjalan," ujarnya.
"Safari ;show of force' atau unjuk kekuatan pun dilakukan Presiden ditengah rencana Aksi Bela Islam jilid III pada Jumat 25 Nopember mendatang. Presiden mengunjungi markas satuan-satuan tempur khusus seperti Kopassus dengan Gultornya, Marinir dan Korps Brimob mendapat giliran hari ini," ungkap Ferdinand, Jumat (11/11).
"Presiden bahkan menyampaikan pendapat keliru saat di markas Kopassus terkait pengerahan Prajurit Kopassus dalam keadaan darurat. Kopassus itu dibuat untuk menghadapi ancaman pertahan negara dan penanggulan teror, bukan untuk menakut-nakuti demonstran," jelasnya mengingatkan.
"Presiden keliru, mengapa sekarang begitu intens ke markas prajurit TNI ditengah eskalasi politik, sementara HUT TNI 5 Oktober lalu sangat hambar dan tidak dirayakan secara tepat oleh rejim Jokowi ?," tanyanya.
"Semoga minggu yang akan datang presiden tidak meneruskan kekeliruannya. Matinya kepercayaan publik pada presiden adalah harga sangat mahal atas kekeliruan yang dilakukan presiden," pungkas Ferdinand.(fh/bh/mnd) |