MOLLO, Berita HUKUM - Bupati Timor Tengah Selatan (TTS) Nusa Tenggara Timur, Paul Mella diminta berkomitmen dan melakukan sumpah adat di depan masyarakat tiga batu tungku (Amanatun, Amanuban dan Mollo) pada Festival Ningkam Haumeni III di bukit Anjaf dan Nausus di desa Nausus, Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS), Nusa Tenggara Timur (25/7). Hadir dan ikut menyaksikan acara tersebut yaitu Farry D Francis, Anggota DPR RI Komisi V, serta Perwakilan dari Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal (PDT)
“Kita ingin semua yang ada di sini melakukan sumpah adat bersama, untuk saling berkomitmen menjaga alam dan margasatwa yang ada di TTS di acara Ningkam Haumeni ini. Kita ingin semua harus berada di tempat semestinya, karena Ningkam Haumeni (madu dan cendana) perjuangannya telah dilakukan oleh nenek moyang kami. Madu dan cendana harus kembali ke tempatnya. Kami ingin bupati dan semua yang hadir melakukan sumpah adat dan berkomitmen secara bersama,” papar perempuan pejuang Mollo, Aleta Baun yang juga pencetus Festival Ningkam Haumeni.
Demikian siaran pers yang di terima BeritaHUKUM.com, sementara Aleta berbicara, Bupati TTS sibuk dengan Blackberry-nya. Sedangkan ratusan masyarakat tiga batu tungku dengan khidmat dan serius mengikuti kegiatan tersebut di tengah angin gunung dan kabut yang kencang.
Dalam kesempatan tersebut, masyarakat tiga batu tungku juga menyerahkan uang satu perak, agar bupati mencabut logo TTS yang selama ini tergambar hanya berupa akar saja. Menurut mereka jika Bupati ingin memakai cendana sebagai simbol maka diharuskan utuh, sebagai pohon cendana. Karena itulah identitas TTS yang sesungguhnya. Sebagai catatan, cendana di TTS sudah jarang ditemukan dan nyaris punah, karena kebijakan pemutihan cendana yang dipaksa untuk ditebang oleh penguasa masa Soeharto. Kini cendana sudah jarang ditemukan di perbukitan TTS dan Timor pada umumnya.
Seperti yang dijelaskan sebelumnya Festival Ningkam Haumeni III ini, dilakukan guna mendorong masyarakat adat 3 bangku tungku lebih kuat lagi dalam melakukan komitmen kearifan lokalnya. Masyarakat 3 batu tungku dalam sumpah adatnya melalui ritual adat selama festival telah berkomitmen untuk menjaga hal-hal yang selama ini terlupakan atau nyaris diabaikan. Misalnya menanam panganan lokal, memastikan cendana hidup kembali, menjaga bebatuan dan hutan sehingga sumber air terjaga serta mengembangkan tenun ikat. Termasuk belajar dari perjuangan masyarakat Molo pula yang berhasil mengusir perusahaan tambang marmer yang merusak area kramat mereka di Bukit Anjaf dan Nausus. Padahal jelas Bukit Anjaf dan Nausus juga menjadi water chatchment area untuk wilayah Timor bersama dengan naungan Gunung Mutis.
Namun saat ini di wilayah TTS telah "dikepung" ratusan tambang yang kini tengah menunggu diijinkan untuk beroperasi. Data WALHI NTT menyebutkan, ada 172 perusahaan tambang yang menanti ijin beroperasi di TTS, sementara 5 IUP ijin perusahaan pertambangan telah dikeluarkan pemerintah TTS. Hal ini sesungguhnya bertentangan dengan yang dibutuhkan masyarakat tiga batu tungku, yang lebih menginginkan pemerintah meningkatkan usaha pertanian dan peternakan karena tambang bukanlah bagian dari kearifan lokal mereka.
Niko Manao, salah satu perwakilan masyarakat adat Amanuban dalam acara sumpah bersama bupati sempat menyinggung soal kebijakan pertambangan marmer dan migas yang mendapat pertentangan dari masyarakat namun ditanggapi santai oleh bupati.
"Kebijakan pertambangan marmer dan migas merupakan kewenangan pemerintah pusat, dan pemerintah daerah harus mempertimbangkan budaya yang diyakini oleh masyarakat sebelum mengeluarkan kebijakannya," papar Paul Mella.
Sementara itu Farry D Francis anggota DPR RI Komisi V dalam sambutannya menegaskan kondisi faktual yang dialami masyarakat kita terkait kemiskinan yang masih terjadi harus mendapatkan respon dari pemerintah daerah provinsi dan pusat.
"Pemerintah sebagai penyelengara negara dan bertugas mensejahterakan rakyat harus responsif melihat realitas yang dialami masyarakat. Selain itu pemerintah tidak boleh mengikuti kemauannya sendiri tanpa memperhatikan aspirasi masyarakat dalam mengeluarkan berbagai kebijakan khususnya dalam pengelolaan SDA," jelas Farry.
Dia juga menandaskan bahwa hutan, tanah dan air harus dijaga baik". Karena itu kalau masyarakat berfikir bahwa kebijakan pengelolaan SDA khususnya terkait dengan pertambangan tidak baik, maka wajib hukumnya pemerintah untuk mengikuti keinginan masyarakat. [bhc/rls/rat]
|