JAKARTA, Berita HUKUM - Sepak terjang sang dead squad Densus 88 kini mulai mencuat lagi. Kali ini mereka melakukan pengejaran terhadap terduga teroris yang dituduh akan meledakkan Kedubes Myanmar. Bahkan Baku tembak terjadi antara Densus 88 dengan sejumlah orang yang diduga teroris di Kampung Batu Rengat RT 02/08 Desa Cigondewah Hilir, Kecamatan Margaasih, Kabupaten Bandung, sekitar pukul 11.00 WIB, Rabu (8/5).
Densus 88 juga sering kali terlibat dalam penyiksaan dan extra-judicial killings, membunuh menggunakan senjata tanpa Standard Operational Procedure (SOP) kepada “terduga” teroris yang tanpa senjata dan tanpa perlawanan.
Menurut Pusat Hak Asasi Muslim Indonesia (PUSHAMI), sebagaimana relasenya yang ditandatangi oleh M.Yusuf Sembiring, SH, MH, selaku Direktur Kontra Terorisme dan Kontra Separatisme, bahwa Densus 88 dengan segala fasilitasnya telah menjadi pelaku inpunitas (pelaku penghilangan nyawa yang lolos dari investigasi tanpa proses hukum) dan pelanggar HAM berat. Kasus pelanggaran HAM berat yang dilakukan oleh Densus 88 sampai saat ini masih berlajut dan belum ada yang bisa menghentikannya.
Lebih lanjut M. Yusuf Sembiring, SH,MH juga mengaskan sampai detik ini, masih banyak praktik impunitas dalam bentuk penyiksaan yang dilakukan oleh Densus 88 di dalam tahanan maupun diluar tahanan terhadap para “terduga” teroris. Lalu apa gunanya pemerintah Indonesia yang telah meratifikasi Konvensi Anti Penyiksaan (Convention Against Torture) dalam Undang-undang Nomor 5 tahun 1998 tentang Pengesahan Konvensi Penyiksaan pada 28 September 1998.
Atas hal-hal tersebut Densus seringkali melakukan klaim terhadap kelompok Islam tertentu bagian dari kelompok ini dan itu tanpa bukti yang jelas. Melakukan prakondisi terhadap kasus terorisme. Dan seringkali meyalahgunakan kewenangannya untuk memaksa terduga teroris mengakui perbuatan yang tidak dilakukannya.
Dengan memperhatikan Undang-Undang Dasar 1945 yang sudah beberapa kali diamandemen sebagai Konstitusi Negara, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), Undang-Undang Republik Indonesia No. 18 Tahun 2003 Tentang Advokat, Undang-Undang Republik Indonesia No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia, Undang-Undang Republik Indonesia No. 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban.
Bahwa terkait hal-hal di atas, kami Pusat Hak Asasi Muslim Indonesia (PUSHAMI) menyatakan sebagai berikut:
1. Menghimbau kepada seluruh segenap saudara saudari kami berkewarganegaraan Indonesia (WNI) yang telah mendapatkan perlakuan diskriminasi dan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) baik terhadap diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat dan hak miliknya sebagaimana diatur dalam Undang-undang Hak Asasi Manusia (HAM) akibat dampak dari fitnah terorisme dan atau teror di Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) oleh Densus 88 ini, untuk segera melaporkan kepada kami dengan terganggunya Hak atas Rasa Aman Tenteram sebagaimana diatur dalam Undang-undang Hak Asasi Manusia (HAM) untuk ditindaklanjuti melakukan upaya hukum sesuai dengan ketentuan hukum dan perundang-undangan yang berlaku.
2. Mendesak DPR khususnya Komisi III untuk segera membentuk panja kemudian dilanjutkan dengan proses hukum kepada Kepala Densus 88, Bareskrim Mabes Polri dan BNPT, karena jelas dan tegas telah melakukan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) sebagaimana diatur dalam Undang-undang No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia (HAM) dan terhadap personil Densus sebagai aparat kepolisian penegak hukum NKRI yang telah melakukan penembakan harus ditindak tegas sebagaimana pula diatur dalam Undang-undang No. 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia (HAM).(rls/bhc/rat)
|