JAKARTA, Berita HUKUM - Aktivitas seksual yang dilakukan oleh pasangan suami istri, wajarnya memberikan kenikmatan dan kebahagiaan tersendiri. Namun, keromantisan itu tak selamanya dirasakan oleh semua pasangan. Hubungan intim yang dikatakan indah oleh banyak orang, justru menjadi hal yang menyakitkan dan memilukan bagi Riska, 35 tahun. (bukan nama sebenarnya).
Usia pernikahannya sudah menginjak tahun kesembilan. Tapi sayangnya, pernikahan yang sudah berlangsung hampir satu dasawarsa ini mengalami kegagalan dalam urusan ranjang. Hubungan seksual yang ia idam-idamkan selama ini, kandas sejak malam pertama pernikahan.
"Selama sembilan tahun lebih, saya dan suami tidak bisa melakukan hubungan seksual secara wajar. Penetrasi selalu gagal. Miss V saya seolah terkunci. Sakit setengah mati. Mr P suami saya katanya seperti terhalang tembok baja", cerita Riska, Jakarta, Rabu (22/12)
Riska mengaku putus asa dan hampir saja menyerah dengan kondisi tersebut. Ia dan suaminya sudah mencoba untuk mencari solusi tentang apa yang membuat mereka selalu gagal dalam melakukan hubungan suami istri. Mulai dari mendatangi bidan, dokter kandungan (Sp.OG), hingga psikolog.
Ia juga mengaku sering mengalami stigma dalam lingkungan keluarga, tetangga, bahkan teman dekat. Banyaknya pertanyaan yang muncul seputar momongan, seolah menjadi momok tersendiri baginya. Ia seringkali merasa tersudut dan bingung dengan pertanyaan-pertanyaan yang berseliweran selama sembilan tahun ini.
"Sejak gagal pada malam pertama, saya dan suami mengira situasi ini wajar. Kami baca-baca di internet, memang sulit untuk melakukan penetrasi di malam pertama. Akhirnya, kami pun mencobanya terus menerus. Tapi selalu gagal. Saya sering menangis karena sakit tak tertahankan. Suami pun merasa nyeri pada Mr P nya karena sangat sulit sekali masuk ke Miss V saya. Katanya Miss V saya seperti ada papan yang terkunci", jelasnya.
Setelah tiga bulan pernikahan, lanjut Riska. Saya dan suami berfikir, pasti ada yang tidak beres. Akhirnya, kami memutuskan untuk mendatangi seorang bidan untuk memeriksakan kondisi ini. Tapi sayangnya, tak ada hasil yang berarti. Bidan yang kami datangi hanya menyarankan untuk lebih rileks dan memperpanjang foreplay.
Tidak puas dengan jawaban tersebut, ia dan suami mendatangi dokter kandungan yang berada di bilangan Jakarta Pusat. Di sana, ia disarankan untuk melakukan pemeriksaan USG Transvaginal. Dan metode ini, akhirnya tidak berhasil dilakukan karena ia merasakan sakit yang luar biasa.
"Aku disuruh berbaring di sebuah ranjang khusus, dengan kaki ditekuk dan terbuka mengangkang. Dokter mulai memasukkan sebuah alat ke Miss V saya. Spontan saya menjerit karena sakit yang teramat perih seperti disilet. Dan Miss V saya lagi-lagi terkunci. Ada darah yang keluar. Saya pun menangis. Suami sampai tak tega melihat saya tersedu."
"Saat itu dokter kandungan yang memeriksa saya terlihat kesal. Katanya saya kurang rileks dan diliputi rasa takut yang berlebihan. Mendengar ucapan dokter tersebut, hatiku semakin sakit. Nyaliku mendadak ciut. Seolah-olah akulah yang patut disalahkan dalam hal ini. Dan dokter menyarankan kami untuk menjalani konsultasi dengan seorang psikolog," jelasnya.
Menuruti saran dari dokter kandungan, Riska dan suami pun menemui seorang psikolog untuk melakukan konsultasi tentang masalah mereka. Ia dan suami merasa lebih baik secara psikologis usai berkonsultasi dengan psikolog.
"Psikolog yang kami datangi, orangnya sabar dan menguatkan kami. Kami menjalani hipnoterapi selama 3x pertemuan. Dan kondisi psikis kami menjadi lebih baik. Kami disuruh melupakan masalah yang kami alami. Kami disuruh fokus dan rileks saat melakukan hubungan seksual."
"Usai menjalani hipnoterapi, saya dan suami mencoba untuk melakukan hubungan. Mengikuti saran dari psikiater, kami mencoba untuk serililex mungkin. Mencoba melupakan semua beban masalah dan melakukan foreplay yang cukup. Akan tetapi, lagi-lagi usaha kami gagal. Miss V saya terkunci rapat, seolah tak ada celah barang sesenti," ujar Riska sembari berkaca-kaca.
Usaha yang dilakukan oleh Riska dan suaminya, "Seperti menegakkan seutas benang basah, hampir nyerah,"katanya. Selama sembilan tahun lebih, mereka terus mencari solusi dari masalah pelik yang dihadapinya. Mereka memiliki keyakinan bahwa setiap masalah yang dihadapi manusia, pasti ada solusinya.
Berbekal dari keyakinan yang kuat tersebut, Riska dan suaminya kini menjumpai titik terang. Ia menemukan sebuah artikel dalam situs asing yang memuat fenomena yang sama persis dengan dirinya. Yakni, Vaginismus. Kata itu terasa asing baginya.
"Tepatnya pada bulan Agustus 2021, saya menemukan sebuah artikel dari situs berita asing tentang Vaginismus. Awalnya terdengar asing ditelingaku. Tapi setelah saya mencari tau, akhirnya ketemu apa itu Vaginismus. Ternyata di Indonesia sudah ada artikel dan penderita Vaginismus yang sembuh. Gejalanya sama persis seperti yang saya alami, vagina menutup dan kaku dengan sendirinya," jelasnya.
Riska pun terus mengumpulkan informasi seputar Vaginismus. Hingga akhirnya, ia dan suami memutuskan untuk memeriksakan diri ke dokter Robbi Asri Wicaksono Sp.OG yang ada di kota Bandung.
Menurut berbagai informasi yang ia terima, dokter Robbi sudah menangani banyak pasien Vaginismus, dan berhasil sembuh. Sejak tahun 2017, dokter Robbi sudah merawat 1.000 pasien lebih dari berbagai daerah di Indonesia. Bahkan ada yang dari Singapura, Jepang, Belanda dan Australia.
"Awal bulan September kemarin, aku dan suami ke Bandung untuk periksa. Dan benar saja, saya dinyatakan Vaginismus level empat. Kata dokter Robbi, ada level Vaginismus mulai dari level satu atau kondisi ringan, hingga level lima yakni kondisi parah. Vaginismus empat yang aku derita, bisa ditangani dengan cara dilatasi berbantu," jelasnya.
Penyakit Vaginismus ini, lanjut Riska menceritakan, kekakuan pada otot-otot dinding vagina yang tidak bisa dikendalikan oleh perempuan. Jadinya sangat sulit penetrasi. Dokter Robbi bilang kepada saya dan suami, kegagalan penetrasi ini terjadi dengan tanda-tanda rasa sakit walau dengan tambahan cairan lubrikasi. Seolah-olah penetrasi menabrak dinding, dan gagal dilakukan. Rasa sakit terus terjadi setiap dilakukan pemeriksaan medis pada vagina. Pada level parah, Vaginismus bisa menyebabkan pasien pingsan, mual, jantung berdebar, hingga henti pernapasan sementara saat hendak dilakukan penetrasi.
"Setelah dinyatakan Vaginismus level empat, Saya dan suami berunding dulu sebelum memutuskan untuk dilatasi berbantu. Dan akhirnya, kami berdua memutuskan untuk melakukan dilatasi berhantu selama tiga hari di rumah sakit Limijati, Bandung," jelasnya.
Usai melakukan dilatasi berbantu, Riska dan suaminya dibekali alat dilatasi yang nantinya digunakan untuk terapi secara mandiri di rumah. Ia mengaku sangat bahagia dan lega. Walaupun belum berhasil melakukan penetrasi usai tindakan di rumah sakit.
"Saya pulang ke Jakarta dengan harapan baru. Bahagia pastinya. Saya dibekali alat dilatasi. Namanya dilator. Dan saya disarankan melakukan dilatasi mandiri menggunakan alat ini secara tertib selama enam bulan kedepan," kata Riska.
Awal melakukan dilatasi mandiri di rumah, Riska menceritakan tentang ketakutan akan rasa sakit yang dialaminya berangsur menghilang sedikit demi sedikit.
"Awalnya masih ada rasa takut sakit, tapi setelah latihan dilatasi setiap hari, pagi dan malam hari. Rasanya mulai nyaman dan tak sakit lagi. Dan akhirnya, usai dua puluh hari melakukan dilatasi mandiri, kami berhasil melakukan penetrasi secara alami tanpa rasa sakit. Bersyukur, bahagia, dan sangat lega. Beban berat yang kami pikul selama sembilan tahun lebih, hilang sudah," tutup Riska sembari menyeka buliran air di sudut matanya.(bh/na) |