JAKARTA, Berita HUKUM - Adanya indikasi pihak kubu Airlangga Hartarto sebagai calon Incumbent Ketua Umum Partai Golkar jelang Munas ke X partai Golkar pada 3 hingga 6 Desember 2019 mendatang, yang dituding pada tahap penjaringan, pencalonan dan pemilihan, dilakukan dengan cara berbeda dan tidak sesuai AD ART Partai.
Mahadi Nasution, Wakil Bendahara Badan Kajian Strategis dan Inteljen (Bakastratel) DPP Partai Golkar mengungkapkan bahwa, sejatinya, Munas partai Golkar sebagai penjelmaan partai berdaulat di tangan anggota, dari Munas ke Munas konsisten menjalankan prinsip-prinsip demokrasi. "Pada prinsipnya, tentu menjaga hak memilih dan dipilih dilakukan secara demokrastis. Memberi hak dan kewajiban yang sama," jelasnya, usai jumpa pers dengan wartawan di bilangan Jakarta Pusat, Jumat (29/11).
Konferensi pers berlangsung di Kawasan SCBD itu dihadiri oleh sejumlah pendukung Bambang Soesatyo (Bamsoet) untuk maju menjadi calon Ketua Umum partai Golkar di antaranya; Cyrillus Kerong (Ketua Tim 9), Fransiskus Roi Lewar (Anggota Tim 9), Mahadi Nasution (Anggota Tim 9), Sultan Zulkarnain (Anggota Tim 9), Eddy Lanitaman (Anggota Tim 9), Gaudens Wodar (Anggota Tim 9), Amriyati Amin (Pengurus Pleno DPP), Marleen Pettah (Pengurus Pleno DPP), dan Difla Olla (Pengurus Pleno DPP).
"Semestinya, Golkar milik kita semua, bukan milik pengurus, apalagi hanya segelintir orang yang bernafsu dengan kekuasaan. Lalu, kini bagaimana dengan Munas yang sudah menghitung hari ini, apakah ketentuan dan persyaratan demokratis tersebut dipatuhi?," ungkapnya.
Mahadi memiliki pandangan, kalau kubu Airlangga dan timnya yang mana ditahap penjaringan calon, seseorang dianggap memenuhi syarat bila mendapat dukungan tertulis dari 30% pemilik suara yang ditanda tangani ketua dan sekretaris itu tidak tercantum di dalam AD/ART.
Dimana dilakukan melalui pemungutan suara dibilik suara Munas. Lalu, kepanitiaan, waktu, tempat dan tema, termasuk laporan pertanggungjawaban, dibahas bersama dalam rapat pleno.
"Padahal ART pasal 50 ayat 1 menyatakan bahwa pemilihan Ketua umum DPP, Ketua DPD Prov/ Kab/ Kota dan Kecamatan dipilih secara langsung," paparnya.
ART pasal 50 ayat 2 menyatakan bahwa, pemilihan sebagaimana dimaksud pada pasal 1 dilakukan melalui penjaringan, pencalonan dan pemilihan. Artinya ketiga tahapan tersebut, baik penjaringan, pencalonan dan pemilihan yang dilakukan secara langsung melalui voting atau pemilihan sebagaimana dinyatakan dalam ayat 1.
Mahadi menilai, "kini sudah ketahuan kelakuan 'mereka' saat di Rapimnas kemarin itu upaya dukung mendukung," katanya.
Skenario menggalang dukungan terhadap Ketum Incumbent terlihat sejak awal saat Rapimnas beberapa waktu yang lalu, sekarang upaya dukung mendukung itu mereka real'kan dalam pendidikan politik yang hari ini digelar di Merlyn Hotel, tuding Mahadi.
Apa urgensi dan substansi pendidikan politik ini yang seyogya dilakukan sebelum Pileg dan Pilpres, harusnya yang dilakukan adalah evaluasi perolehan suara Partai Golkar, timpal Mahadi,
"Yang patut menjadi pertanyaan ialah apa urgensi dan kepentingan pendidikan politik," cetus Kader Golkar yang juga merupakan fungsionaris Depinas SOKSI itu mengkritisi.
Mahadi menduga skenario tersebut untuk menggalang dukungan dan memberikan pressure kepada stackholder pemilik suara DPD I dan DPD II untuk memilih dan memenangkan AH. "Malah pressure pada stakeholder DPD I dan II, bagi yang tidak mau akan dipecat. Itu tidak baik, mestinya dilakukan secara terbuka," tegasnya.
Sementara, mengenai laporan pertanggungjawaban DPP Partai Golkar menyangkut masalah pengelolaan dana partai yang bersumber dari APBN, Mahadi meminta agar, "Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia (BPK RI) dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) harus turun tangan melakukan audit keluhan pengurus daerah soal dana Saksi, agar lebih terbuka dan transparansi penggunaan dana bersumber dari APBN," ujarnya.
Mahadi juga menambahkan, seraya menyinggung pernyataan Airlangga Hartarto mengenai pertemuan dengan Bambang Soesatyo bahwa bakal ada "tukar guling" posisi di AKD, menurutnya sebagai pesan yang tidak berdasar dan harus diabaikan, kata Mahadi.
"Tidak bisa case by case, than solved whole cases. Kompleksitas persoalan ditubuh Golkar begitu luas. Hanya dengan pergantian kepemimpinan menjadi solusi tunggal," tandasnya.(bh/mnd) |