JAKARTA, Berita HUKUM - Kejaksaan Agung (Kejagung) masih enggan menerima putusan praperadilan Bachtiar Abdul Fatah, tersangka korupsi proyek bioremediasi PT Chevron Pacific Indonesia. Putusan hakim tunggal Suko Harsono dianggap telah melampaui kewenangan praperadilan karena memutus penetapan tersangka Bachtiar tidak sah.
Putusan praperadilan Bachtiar dibacakan pada 27 September 2012 di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Jaksa Agung Basrief Arief mengatakan, sah tidaknya penetapan tersangka bukan merupakan lingkup praperadilan sebagaimana diatur Pasal 77 KUHAP. Penyidik sudah melaporkan putusan tersebut ke Mahkamah Agung (MA).
Sebagai lembaga peradilan tertinggi, MA diminta mencarikan jalan keluar dengan melakukan evaluasi dan eksaminasi. Selain itu, Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Andhi Nirwanto mengungkapkan Direktur Penyidikan juga melaporkan hakim Suko Harsono ke KY karena dianggap memutus praperadilan di luar ketentuan KUHAP.
“Kami berharap kepada KY, hakim yang kami anggap melampaui wewenangnya itu mohon sekiranya dilakukan klarifikasi atau pemeriksaan. Sebab kalau buntu begini, pelaksanaan hukum menjadi tidak jelas. Ini juga akan berakibat pada penegakan hukum terhadap si tersangka (Bachtiar) itu sendiri,” katanya, Sabtu (9/2).
Sebelum melakukan kedua upaya itu, penyidik mencoba mengajukan banding. Namun, Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menolak dengan alasan KUHAP tidak mengenal upaya banding dalam mekanisme praperadilan. Andhi menganggap Ketua Pengadilan telah bertindak di luar aturan main karena menolak banding penyidik.
Dalam ketentuan Pasal 83 ayat (1) KUHAP, putusan praperadilan yang tidak dapat dimintakan banding adalah putusan mengenai sah tidaknya penangkapan dan penahanan. Belakangan, Mahkamah Konstitusi (MK) juga menghapus ketentuan banding terhadap putusan praperadilan mengenai penghentian penyidikan dan penuntutan.
Sementara, untuk putusan praperadilan di luar ketentuan itu, Andhi berpendapat tidak ada aturan dalam KUHAP yang melarang penyidik mengajukan banding. Seharusnya Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan tidak menolak banding penyidik. “Kalaulah banding itu ditolak, yang menolak seharusnya Pengadilan Tinggi,” ujarnya.
Andhi lebih memilih bersusah-susah melaporkan hakim serta menunggu hasil eksaminasi MA ketimbang menerbitkan surat perintah penyidikan baru untuk Bachtiar. Menurutnya, jika penyidik mengeluarkan penetapan tersangka baru, berarti penyidik mengakomodir dan mengakui putusan praperadilan yang tidak sesuai ketentuan KUHAP.
Ketua Bidang Pengawasan Hakim dan Investigasi KY Suparman Marzuki mengaku telah menerima laporan penyidik sekitar seminggu lalu. Dia belum bisa memastikan apakah hakim Suko Harsono melanggar kode etik dan melampaui kewenangannya karena laporan baru akan ditindaklanjuti dengan pengumpulan dokumen-dokumen.
“Nanti kalau memang masih memerlukan tambahan dokumen, pelapor akan kami hubungi untuk melengkapi. Setelah dokumen ditelaah, baru dilakukan pemeriksaan pelapor atau saksi-saksi. Kami akan tanyakan juga apakah pelapor memiliki saksi, baru nanti dilihat apa kesimpulannya dan dibawa ke sidang panel,” tuturnya.
Sidang itu digelar untuk menentukan apakah ada pelanggaran kode etik hakim dalam menyidangkan praperadilan Bachtiar. Marzuki menyatakan, hakim Suko Harsono bisa saja diperiksa tergantung seberapa penting keterangannya dibutuhkan. Apabila dalam sidang panel tidak ditemukan pelanggaran, tentu Suko Harsono tidak akan diperiksa.
Mengenai hakim praperadilan yang memutus penetapan tersangka tidak sah, Marzuki belum dapat menanggapi. Pada dasarnya KY sangat mengedepankan perspektif keadilan substantif, sehingga jika hakim cukup beralasan dan memang penetapan seseorang sebagai tersangka tidak memenuhi syarat, mungkin saja hakimnya benar.
“Tapi, bisa juga hakimnya keliru. Oleh karena itu, saya tidak bisa berandai-andai apa putusannya nanti. Cuma, kalau dia beralasan dan KY melihat putusan itu beralasan, misalnya penetapan tersangka tidak memenuhi syarat, terhadap hakim tersebut kami katakan sebagai hakim yang memenuhi prinsip keadilan yang substantif,” terangnya.
Hambat penuntutan
Meski sempat ragu menentukan langkah, penyidik memutuskan terus melanjutkan perkara Bachtiar. Basrief menuturkan, penyidik telah menindaklanjuti dengan melayangkan panggilan pelimpahan tahap dua. Namun, upaya itu dihambat karena Bachtiar tidak mau hadir, bahkan menyampaikan surat keberatan melalui pengacaranya.
“Apa kita biarkan seperti itu saja? Makanya, kami meminta MA untuk dicarikan jalan keluarnya. Kalau proses itu dilanjutkan, ya tentu kami tindaklanjuti. Tapi ketika mau melakukan pelimpahan tahap kedua, kan ditolak, yang bersangkutan tidak mau hadir. (Untuk menggunakan Pasal 21 UU Tipikor) Itu nanti lah, ada waktunya,” jelasnya.
Pasal 21 UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menyebutkan setiap orang yang dengan sengaja mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan dipidana penjara paling lama 12 tahun.
Basrief mengatakan sebelum menggunakan ketentuan itu, Bachtiar dapat dijemput paksa untuk melakukan pelimpahan tersangka dan barang bukti ke penuntut umum. Akan tetapi, pengacara Bachtiar, Maqdir Ismail sempat menolak mentah-mentah mengingat tidak ada alasan bagi penyidik untuk memaksakan pelimpahan.
Menurut Maqdir, pelimpahan tahap dua tidak dapat dilakukan karena Pengadilan Negeri Jakarta Selatan sudah menyatakan penetapan tersangka Bachtiar tidak sah. Apabila penyidik bersikeras melimpahkan perkara Bachtiar ke penuntutan, dia menegaskan kliennya akan menempuh upaya hukum perdata ke pengadilan.
“Penetapan tersangkanya sudah dinyatakan batal oleh pengadilan, kalau mereka bersikeras, tentu kami akan lakukan langkah hukum. Kami bisa pertimbangkan untuk mengajukan gugatan perdata karena mereka melakukan perbuatan melawan hukum. Kami pun bisa pertimbangkan untuk gugat di PTUN,” tandasnya.(hom/bhc/opn) |