JAKARTA (BeritaHUKUM.com) – Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang perdana pengujian Pasal 365 ayat (4) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang mengatur tentang hukuman mati. Pasal itu dianggap bertentangan dnegan UUD 1945. Perkara yang teregistrasi dengan Nomor 15/PUU-X/2012 ini diajukan Raja Syahrial Herman dan Raja Fadli.
Kedua pemohon merupakan terpidana mati kasus pencurian disertai kekerasan (curas) di Karimun, Riau. "Para pemohon adalah terpidana yang dijatuhi hukuman mati merasa dirugikan hak konstitusionalnya atas berlakunya Pasal 365 ayat (4) KUHP," kata kuasa hukum pemohon, Rangga Lukita Desnata, dalam sidang pemeriksaan pendahuluan yang berlangsung di ruang sidang panel, gedung MK, Jakarta, Jumat (17/2), seperti dikutip laman resmi lembaga tersebut.
Di hadapan majelis hakim konstitusi yang diketuai Ahmad Fadlil Sumadi dengan beranggotakan Maria Farida Indrati dan Harjono, kuasa hukum pemohon menyatakan bahwa hak konstitusionalnya terlanggar akibat berlakunya Pasal 365 KUHP. Para pemohon dijatuhi vonis hukuman mati dari pengadilan tinggi tingkat pertama karena pencurian yang didahului, disertai atau diikuti dengan kekerasan terhadap orang.
“Kemudian kuasa hukum Pemohon terdahulu tidak mengajukan memori kasasi, sehingga menyebabkan Mahkamah Agung tidak memproses kasasi emohon sekarang. Untuk itu, para Pemohon harus menerima putusan mati, sehingga hal ini menurut pemohon bertentangan dengan Pasal 28A UUD 1945. Dalam petitumnya para pemohon meminta pasal a quo dibatalkan,” jelas Rangga Lukita.
Menanggapi permohonan Pemohon tersebut, Harjono meminta agar pemohon memperbaiki permohonan sesuai dengan peraturan MK. Permohonan harus diperbaiki kewenangan dan kedudukan hukumnya (legal standing). “Tolong sesuaikan kewenangan MK dalam permohonan dengan peraturan MK. Apa persyaratan permohonan sudah disesuaikan dengan peraturan MK juga?” jelas Harjono.
Harjono juga mengungkapkan, MK pernah memutus tentang hukuman mati.Meski pasal yang dimohonkan pemohon berbeda, pemohon tetap harus melihat putusan tersebut. “Secara formal, memang permohonan berbeda. Tapi pemohon harus menjelaskan perbedaan antara permohonan Anda dengan permohonan terdahulu. Hal ini akan mempengaruhi penilaian hakim nantinya,” paparnya.
Sementara itu, Maria Farida Indrati meminta agar Pemohon lebih memperjelas mengenai kerugian konstitusional yang dialaminya. “Apa kerugian konstitusional ataupun potensi kerugian konstitusional yang dialami para Pemohon? Itu harus diperhatikan. Kemudian, Pemohon juga harus mempertentangkan pasal yang diajukan untuk diuji dengan pasal dalam UUD 1945,” urainya.(mkg/wmr) |