JAKARTA, Berita HUKUM - Supriyadi Widodo Eddyono selaku Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) menyampaikan, indikasi terjadi banyak pelanggaran yang dilakukan dalam Perda terkait pengaturan pidana, disamping pengawasan preventif yang lemah oleh Kemendagri, ungkap Supriyadi, saat sesi diskusi Aliansi Nasional bertema 'Reformasi KUHP' di kawasan Cikini, Jakarta Pusat pada, Rabu (28/10).
Seperti diketahui, setiap daerah otonom di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) di bumi tercinta ibu pertiwi ini memiliki kemandirian dalam upaya memajukan masyarakatnya secara demokratis. Dalam konteks otonomi, Kewenangan Pemda turut ditunjukan dari adanya pemberian untuk membuat Perda masing-masing untuk kepentingan masyarakat setempatnya.
Aliansi memandang banyaknya Perda bermasalah terkait pidana, karena tidak adanya pedoman yang pasti dalam pelaksanaan KUHP tentang keberlakuan pidana di daerah dan kelemahan UU Pemda, disamping pengawasan preventif yang lemah dilakukan pemerintah lewat Kemendagri.
Secara normatif, Undang-undang Pemda mengatur Perda yang dirancang baik oleh Gubernur ataupun anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) yang kemudian disetujui oleh kedua belah pihak tersebut.
Reformasi KUHP yang menjadi fokus pembahasan dalam sesi diskusi inipun, menurut Aliansi merupakan implikasi KUHP terkait dengan Peraturan-peraturan Daerah yang masih menduplikasi tindak pidana. Untuk itu, Aliansi mengupayakan untuk mendorong DPR RI agar mulai memperhatikan wacana ini.
Sebagai catatan, UU Pemda menegaskan pembuatan Perda dapat dilakukan untuk kebijakan kriminalisasi, seperti tertuang dalam pasal 15 ayat (2) UU no.12 tahun 2011 dan pasal 143 ayat (2) UU Pemda yang menyatakan bahwa, Perda dapat memuat ancaman pidana, seperti pidana kurungan dan denda.
Kemampuan Perda dalam memberi sanksi ini tentunya tidak terlepas pada ketentuan dalam pasal 15 ayat (1) UU no.12 tahun 2011 yang mengizinkan Perda mengatur ketentuan pidana di dalamnya. Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) , Supriyadi Widodo Eddyono mengutarakan, setidaknya melihat bahwasanya ada empat (4) macam kebijakan kriminalisasi yang tidak sinkron dengan kebijakan hukum Pidana nasional Indonesia.
Adapun kebijakan tersebut yakni Pertama (1), kebijakan kriminalisasi dari pendelegasian UU, seperti Perda tentang retribusi dan pajak. Selanjutnya yang Kedua (2), kebijakan kriminalisasi yang telah diatur dalam hukum pidana kodifikasi, seperti Perda minuman keras (Miras) dan pelacuran.
Serta, Ketiga (3), Kebijakan Kriminalisasi berbasiskan hukum Islam, seperti Qanun Jinayat Aceh No.6 tahun 2014 dan yang terakhir, Keempat (4), Kebijakan Kriminalisasi yang berasal dari hukum adat.
"Pemberlakuan prinsip 'lex superior derogat legi inferiori' sudah menjadi syarat mendasar guna menjaga sinkronisasi Perda dan Kebijakan pidana nasional," ujar Supriyadi Widodo Eddyono, Rabu (28/10).
Prinsip ini mengakibatkan hukum yang kedudukannya lebih tinggi menghapus hukum yang ada di bawahnya, atau dengan kata lain hukum yang lebih rendah tingkatannya harus sesuai dengan ketentuan yang diatasnya.
Walaupun dalam hal ini, penekanannya bahwa dalam penggunaan prinsip ini harus mempertimbangkan aspek kesetaraan dengan kekhususan Perda berdasarkan prinsip 'lex specialis derogat legi generali'.
ICJR yang tergabung dalam ALIANSI mendorong agar RKUHP memberikan batasan secara jelas dalam pasal 776, Pertama, Perda atau Qanun harus dibatasi masih membuat ketentuan pidana yang bersifat generic crime, dan dilarang untuk membuat tindak pidana yang telah diatur dalam KUHP dan atau menduplikasi KUHP.
Pasal 776 huruf (a) RKUHP tersebut mengatur, "Pada saat Undang-undang ini mulai berlaku : (a) Kualifikasi kejahatan dan pelanggaran yang disebut dalam Undang-undang di luar undang-undang ini atau Peraturan Daerah harus dimaknai sebagai tindak pidana."
Kedua, harus diperjelas batas-batas pengaturan pidana (dalam konteks generic crime) yang sifatnya lokal diatur dalam Perda. dan Ketiga, Perda hanya dimungkinkan memuat ketentuan yang bersifat tindak pidana administratif, administrative crime terbatas yang tidak boleh melanggar ketentuan UU.(bh/mnd) |