*Diduga selewengkan dana APBD yang peruntukan hibah dan bansos
JAKARTA-Menjelang peaksanaan pemilihan kepala daerah (Pilkada) Banten, Indonesia Corruption Watch (ICW) mengeluarkan data cukup mengejutkan. LSM antikorupsi itu membeberkan dugaan korupsi dana APBD yang alokasinya diperuntukan hibah dan bantuan social (bansos) yang diduga melibatkan Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah. Kasus ini pun rencananya akan dilaporkan kepada KPK.
Dalam APBD 2011 Pemprov Banten mengalokasikan anggaran senilai Rp 340 miliar untuk hibah dan Rp 51 miliar untuk bansos. Dana ini disalurkan pada 221 organisasi dan forum yang dibentuk masyarakat maupun instansi negara. Sedangkan program bansos diserahkan pada 160 lembaga.
"Tapi dalam realisasinya, ICW melihat ada kejanggalan dalam penyaluran tersebut," kata peneliti ICW Ade Irawan dalam jumpa pers di Hotel Cemara, Jakarta Pusat, Kamis (25/8).
Indikasi penyimpangan pertama yang dinilai ICW adalah ada kesalahan prosedur. Penerapan dan kriteria penerima tidak sesuai dengan Permendagri Nomor 32/2011. Namun, penentuan penerima dilakukan secara tertutup, sehingga banyak penerima hibah dan bantuan yang tidak jelas.
Dari 160 penerima dana bantuan sosial, pemerintah daerah hanya mencantumkan 30 nama lembaga atau kepanitiaan. Itu pun tidak didukung dengan alamat yang jelas. Sedangkan sisanya 130 penerima bantuan tidak jelas alamat dan identitasnya.
Indikasi kedua, ICW melihat mayoritas penerima hibah memiliki afiliasi dengan gubernur. Total dana hibah yang masuk pada lembaga yang dipimpin keluarga gubernur mencapai Rp 29,1 miliar.
Selanjutnya ICW mendapati adanya peruntukan dana hibah yang tidak jelas. Misalnya ada pemberian fasilitas umroh terhadap 150 tokoh masyarakat. Selain itu juga ada pemberian bantuan pada kepala desa dan safari ramadhan untuk gubernur yang jumlahnya mencapai Rp 3,6 miliar. Padahal, ICW menilai kegiatan ini selalu digunakan untuk melaksnakan kampanye terselubung.
Ketimbang digunakan untuk safari Ramadan, dana yang besar itu dapat digunakan untuk pembangunan infrastruktur. Apalagi pembangunan infrastruktur di Banten sangat tertinggal dan lambat dibanding daerah lain.
Dalam penggunaan dana bansos ICW juga melihat banyak anggaran yang dianggarkan untuk jajaran pemerintahan. Bantuan itu mulai dari forum rukun warga, kepala desa dan camat dengan total dana mencapai Rp 9,7 miliar. Pemberian hibah ini dianggap bertentangan dengan Permendagri nomor 32 tahun 2011. "Bantuan ini diduga menjadi sarana mendorong konsolidasi birokrasi dalam memenangkan incumbent," kata Ade.
Ade mengungkapkan, sebenarnya praktek penggunaan dana APBD untuk pemenangan incumbent tidak hanya terjadi di Banten. Praktek serupa terjadi di daerah lain yang incumbentnya ikut dalam pemilukada. Untuk itu, ICW mendorong daerah yang akan menyelenggarakan pemilukada, agar menghentikan program hibah dan bantuan social.
ICW, lanjut dia, juga meminta Kemendagri mendesak daerah agar melaporkan secara terbuka pemberian dana sosial dan hibah pada masyarakat. Sebaiknya Mendagri segera mengeluarkan aturan yang melarang pemberian dana hibah dan bantuan sosial untuk organisasi vertikal. "Dana sosial dan hibah harusnya dimasukkan dalam item alokasi SKPD masing-masing," tandasnya.
Berdasarkan data ICW, pada 2009 dana hibah yang digunakan Rp 79 miliar. Sedangkan 2010 dikucurkan Rp 290 miliar dan pada 2011 sebesar Rp 390 miliar. Dana hibah itu antara lain mengalir ke Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) sebesar Rp 1,85 miliar. Organisasi ini dipimpin Aden Abdul Khalik yang merupakan adik tiri-ipar Ratu Atut. Tagana Banten pimpinan Andhika Hazrumy, adik Atut, menerima Rp 1,75 miliar.
P2TP2A pimpinan Ade Rossi, menantu Atut, mendapat Rp 1,5 miliar. Himpaudi Banten yang juga dipimpin Ade Rossi, mendapat Rp 3 miliar. Koni Banten yang diketuai Ady Surya Darma dari Golkar, partai pendukung Atut, mendapat Rp 15 miliar. Dewan Kerajinan Nasional Daerah pimpinan Hikmat Tomet, suami Atut, kebagian Rp 750 juta.(dbs/ans)
|