JAKARTA, Berita HUKUM - Indonesian Corruption Watch (ICW) melayangkan surat somasi kepada Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) Yasonna Laoly untuk mencabut Surat Edaran (SE) Nomor M.HH-04.PK.01.05.06 Menkumham tahun 2013. SE yang dibuat untuk mengatur pemberlakukan PP Nomor 99 Tahun 2012 itu dinilai membuka peluang koruptor untuk mendapatkan remisi dan pembebasan bersyarat dengan syarat yang ringan.
Reformasi sektor pidana di Indonesia pada awal tahun 2013 Pemerintah menyerahkan secara resmi 2 rancangan Undang-undang hukum pidana dan hukum acara pidana ke DPR. Namun pembahasannya sempat mandek, karena faktor tahun perpolitikan Pemilu 2014, yakni Indonesia memilih Presiden dan Wakil Presiden baru, anggota Parlemen (tingkat Nasional dan daerah).
Pada akhir 2014, Pemerintah melalui Bappenas mengeluarkan daftar rekapitulasi Kerangka Regulasi Jangka Menengah 2015-2019 dan rencana regulasi 2015. yang notabene reformasi hukum di sektor pidana, program rencana legislasi pemerintah umumnya merupakan hutang lama dari pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
ICJR (Institute for Criminal Justice Reform) menilai ada 21 rancangan UU baru maupun revisi yang berkaitan dengan reformasi hukum pidana dan sistem peradilan pidana, seperti: revisi KUHP dan KUHAP, revisi UU pemberantasan tindak pidana korupsi, penyusunan dan penetapan UU yang mengatur tentang perampasan aset, penyusunan dan penetapan UU tentang pembatasan transaksi tunai, sampai dengan PP dan Perpres turunan dari UU yang sudah berlaku (PP dana Perpres UU sistem peradilan pidana anak / SPPA).
"Para koruptor yang masuk dalam daftar nama "BigFish" (yang punya jabatan dan kewenangan tinggi) tapi memperoleh remisi dengan sangat mudah," kata Peneliti Hukum ICW Lalola Easter, di Jakarta pada, Minggu (11/1).
"PP 99 /2012 pada dasarnya sudah mengakomodasi perihal perlakuan terhadap koruptor, namun ketika ada pembatasan penerapan dengan diberlakukan surat edaran kemenkumhan no.6 /2013 menjadi kontraproduktif untuk upaya pemberantasan korupsi," jelasnya
ICW menemukan ada titik yang bisa dikritisi pemberantasan korupsi melalui surat Menkumham 6/2013. Surat ini jelas sekali kontraproduktif dengan PP 99/2012. PP 99 pembatasan remisi dan pembebasan bersyarat.
Sementara, pada konferensi pers kali ini, disamping membahas mengenai remisi dan pembebasan bersyarat, para peneliti ICW-pun mengungkapkan pula respon dan argumentasi mereka mengenai keputusan pemilihan Kapolri baru.
Meskipun pemilihan calon Kapolri adalah hak prerogatif Presiden, namun jika Jokowi telah salah memilih figur Kapolri maka akan berdampak rusaknya kepercayaan publik terhadap pemerintah. Publik curiga nantinya ada indikasi aliran transaksi, calon kuat Kapolri ini. Pesta rakyat yang begitu mewah, ketika dilantik akan berubah menjadi pesta kecurigaan rakyat. Calon yang diduga memiliki rekening tidak wajar, tersandung masalah hukum.
"Salah memilih orang 5 tahun akan tidak berdaya ketika ada tekanan dalam publik. Tidak memperhatikan aspek integritas. Tidak memperhatikan KPK dan PPATK," ungkap Koordinator Divisi Hukum ICW Emerson Yuntho di Cikini, Jakarta Pusat, Minggu (11/1).
"Ini menunjukan Jokowi tutup mata ketika memilih Kapolri. Yang melakukan Fit dan Proper test calon kapolri adalah komisi III, notabene diantaranya lawyer dan memiliki hubungan kerja dengan penegakan hukum (issue HAM) termasuk kepolisian. Menolak Budi Gunawan mungkin beresiko bagi sebagian anggota dewan,” ungkap Emerson Yuntho menambahkan.
"Kami serukan dalam waktu seminggu (7 hari) pemerintah untuk mencabut surat edaran kemenkumham no:6 /2013, jika tidak dicabut kami akan ajukan judiciall review ke Mahkamah Agung. Dan satu lagi masih ada waktu untu Jokowi menarik kembali surat yang diserahkan kepada DPR, karena alasan untuk mendapatkan hasil yang objektif dengan menanyakan terlebih dahulu ke PPATK, KPK, dan Komnas HAM," Tutup Emerson saat jumpa pers, seraya mengungkapkan kekecewaannya dengan langkah Jokowi yang menunjuk Komjen Budi Gunawan yang tergesa gesa, apalagi KPK mengaku tidak dilibatkan dalam proses pencalonan Kapolri pengganti Jenderal Sutarman tersebut, pungkasnya.(bhc/mnd)
|