JAKARTA, Berita HUKUM - Indonesia Police Watch (IPW) menyayangkan sikap cuek Mabes Polri terhadap dua buronan kakap yang sudah ditangkap pihak Imigrasi di Amerika Serikat (AS). Hal ini berbeda dengan Joko Tjandra, buron 11 tahun yang dijemput langsung oleh Kabareskrim Komjen Sigit dengan menggunakan pesawat jet mewah bertuliskan The Grace ke Kuala Lumpur, Malaysia.
"Padahal kedua buronan itu sudah dikejar pemerintah Indonesia selama 25 tahun, tapi kenapa setelah tertangkap Polri seperti tidak peduli untuk menjemput dan membawanya ke Indonesia," kata Ketua Presidium IPW Neta S Pane dalam keterangannya, Rabu (5/8).
Neta menjelaskan, info yang didapat IPW, kedua buronan itu kini ditahan di Dallas. Mereka berdua sedang diperiksa otoritas keamanan AS.
Menurut Neta, penangkapan kedua buronan itu oleh Imigrasi AS menunjukkan bahwa red notice tidak ada masa berlakunya. Terbukti setelah 25 tahun buron, keduanya tetap bisa ditangkap Imigrasi AS.
Ia menguraikan, penangkapan keduanya berawal dari adanya kabar yang disampaikan otoritas keamanan AS bahwa ada dua buronan Indonesia yang masuk dalam Red Notice yang sdh diketahui keberadaannya di AS dan sdh berhasil ditangkap pihak imigrasi AS (ICE) di wilayah kerja Konjen RI di Huston.
Kedua buronan itu masuk Red Notice tahun 2018. Mendengar informasi itu, pihak KBRI langsung melakukan koordinasi agar kedua buronan itu bisa dibawa pulang ke Indonesia.
Namun sayangnya, pihak Mabes Polri maupun NCB Interpol Polri belum ada upaya untuk menjemput kedua buronan itu. Sehingga hal ini masih menjadi hambatan dan otoritas keamanan AS belum memberi akses untuk bertemu dengan kedua buronan tersebut.
"Sikap lamban Polri ini sangat disesalkan," kata Neta.
Diketahui, kedua buronan kakap itu adalah Indra Budiman dan Sai Ngo NG. Kasus Indra Budiman adalah kasus penipuan dan money laundering terkait penjualan Condotel Swiss Bell di Kuta Bali.
Sedangkan Sai Ngo NG terlibat kasus korupsi terkait pengajuan 82 KUR (Kredit Usaha Rakyat) fiktif ke Bank Jatim Cabang Woltermonginsidi Jakarta. Kedua kasus itu terjadi pada Mei 2015. Dalam kasus Indra Budiman, rekannya Christopher Andreas Lie berhasil ditangkap oleh Subdit Fiskal Moneter dan Devisa Ditreskrimsus Polda Metro Jaya pada Mei 2015. Kasus ini terungkap setelah keduanya diketahui menipu 1.157 orang dengan kerugian Rp800 miliar.
Pelaku dan rekannya Indra Budiman diduga melakukan penipuan dengan membuat perusahaan konsultan properti yang menjual apartemen dan condotel dengan harga Rp 1 miliar lebih. Ada 12 properti yang mereka jual. PT Royal Premier Internasional bentukan keduanya menawarkan properti dikemas dengan program investasi emas dan asuransi. Iming-iming yang dilancarkan adalah balik modal di tahun ke-10 hingga ke-15.
Nasabah juga mereka janjikan keuntungan, cash back sebesar dua persen, dan mendapatkan hadiah kendaraan mewah.
Dalam kasus ini Christopher melakukan kontrak pembelian dengan developer atas nama korban, namun tidak membayarkan uang customer sepenuhnya. Korban tersebar di Jakarta, Bandung, Bali dan Yogyakarta. Sebagian uang digunakan untuk trading dan investasi, sebagian lagi untuk membeli rumah, tanah dan kendaraan pribadi.
Saat Christofer tertangkap, Indra berhasil kabur ke Korea Selatan dan kemudian ke AS hingga tertangkap. Saat ini ada upaya dari otoritas keamanan AS untuk membarter kedua buronan itu dengan buronan AS yang ditangkap oleh Polda Bali pada akhir Juli.
Namun akibat tidak adanya respon Mabes Polri, pembahasannya menjadi macet. IPW khawatir, jika tidak ada respon Mabes Polri pihak otoritas keamanan AS akan melepaskan kedua buronan tersebut.
"Sangat disayangkan, saat ini jenderal jenderal Mabes Polri belum juga merespon penangkapan dua buronan kakap di AS itu. Sepertinya para jenderal Mabes Polri masih berpolemik dengan penangkapan Joko Tjandra," tuturnya.
"Setelah tertangkapnya Joko Tjandra, Indra Budiman dan Sai Ngo NG, Indonesia masih punya 40 buronan koruptor lagi yang berada di luar negeri, 13 di antaranya buronan Polri, 5 KPK, dan 22 kejaksaan," tukasnya.(Fhr/telusur/bh/sya) |