Beranda | Berita Utama | White Crime | Cyber Crime | EkBis | Opini | INDEX Berita
Eksekutif | Legislatif | Gaya Hidup | Selebriti | Nusantara | Internasional | Lingkungan
Politik | Pemilu | Peradilan | Perdata| Pidana | Reskrim
Gaya Hidup    
Award
Indihome Woman Awards 2014, Kartini Masa Kini Menggenggam Dunia
Monday 28 Apr 2014 21:32:38
 

Suasana Kemeriahan Indihome Woman Awards 2014.(Foto: Bh/coy)
 
JAKARTA, Berita HUKUM - Mereka yang tak lelah berkiprah, bergerak membuat perubahan, memberi kontribusi kepada negeri ini. Mereka yang cerdik nan peka akan zaman, mampu memanfaatkan kecanggihan teknologi digital guna menajamkan langkah perjuangan. Mereka yang sarat aktivitas publik, namun tak alpa dengan rumah. Sosok Kartini masa kini dalam beragam wajah.

Dalam rangka Hari Kartini, PT Telekomunikasi Indonesia menggelar acara “INDIHOME WOMAN AWARDS 2014” bertajuk “Perempuan Masa Kini: Dari Rumah, Menggenggam Dunia” pada 25 April 2014 di Studio Grand Metro TV, pukul 17.00 – 22.00 WIB.

Sebuah penghargaan yang didedikasikan kepada perempuan Indonesia yang mampu mengelola kehidupan domestik dan publik sedemikian rupa dengan memanfaatkan kecanggihan teknologi digital.

Pemilihan terhadap 21 perempuan peraih Indihome Woman Awards (IHWA) 2014 PT Telkom, dilakukan melalui proses yang cukup ketat. Dimulai dari tahap Collecting Data, Verification, Selection hingga Appraisal (penjurian).

Pada fase Collecting Data, sejumlah organisasi perempuan, lembaga terkait dan individu mengusulkan nama-nama perempuan terbaik di bidang masing-masing. Terkumpul sekitar 363 nama kandidat. Jumlah tersebut kemudian disaring melalui proses Verification, hingga menyisakan 105 nama. Dari 105 nama itu, diringkas lagi menjadi 49 nama melalui tahap Selection.

Sungguh sulit menakar perempuan-perempuan hebat ini dalam timbangan kontribusi, prestasi, inovasi, dan konsistensi kerja. Namun, keputusan tetap harus diambil. Dewan juri akhirnya memilih dan menetapkan 21 Perempuan Indonesia dari tujuh kategori sebagai penerima penghargaan IHWA 2014.

Tujuh kategori tersebut adalah: (1) Indihome Woman Human Care Activist, (2) Indihome Woman Educator, (3) Indihome Woman Scientist & Technologist, (4) Indihome Woman Environmentalist, (5) Indihome Woman Cultural Artist, (6) Indihome Woman Preneur, dan (7) Indihome Woman Health Activist. (Daftar nama pemenang dan profilnya terlampir).

Selain 7 kategori di atas, kami juga menghadirkan kategori khusus, yaitu Indihome Inspiring Woman. Kategori ini diraih oleh Najwa Shihab (Senior Host/ Wapemred Metro TV), Christine Hakim (sineas), dan Melly Goeslaw (artis).

Berikut nama dan profil 21 perempuan peraih IHWA 2014, terbagi dalam 7 kategori:

Katagori: INDIHOME WOMAN CULTURAL ARTIST

1. Aerli Rasinah (Dalang Topeng dari Pekandangan)

Jiwa seni tari topeng yang mengalir dalam tubuh Aerli Rasinah rupanya titisan dari neneknya, Rasinah, seorang Dalang Topeng yang terkenal pada masanya kala itu. Namun, untuk meneruskan kiprah sang nenek, ternyata bukan perkara mudah.

Dalam persayaratannya, untuk menjadi Dalang Topeng, Aerli harus bebarang di tujuh tempat dalam sehari. Ia bebarang dengan menggunakan becak, dan hanya dapat saweran lembar-lembar ribuan, dengan ditaburi beras sebagai lambang kesuburan Dewi Sri.

Selain itu, tutur Rasinah, syarat untuk menjadi dalang topeng, tak hanya belajar tari topeng saja. Tetapi disyaratkan pula mempelajari seni tari lainnya, seperti tari Ronggeng. Tujuannya untuk memperkaya gerak yang sudah dimiliki.

Karenanya, perempuan kelahiran Indramayu, 7 November 1985 ini juga sempat berguru Tari Ronggeng kepada Mimi Tiweng. Dia ingin menyerap aura Ronggeng dari mendiang sang ibu, Mimi Rasinah.

Saat ini, keberadaan Sanggar Tari Topeng Mimi Rasinah berada di pundak Aerli. Rasinah sengaja mewariskan kepada cucunya agar dapat terus melestarikan dan menjaga kesenian tradisi dari kepunahan.

Berkat kepiawaiannya, Aerli pun dipercaya terbang ke Inggris dan Kanada untuk memperlihatkan kebolehannya menarikan tari topeng, sekaligus sebagai duta seni Indonesia. Dari hasil perjuanganya melalang buana, Aerli sukses menyedot perhatian mata mancanegara.

Aerli adalah seorang cucu yang mau membagikan tugasnya dalam berkesenian. Tak pernah pelit bersedah ilmu kepada siapa saja yang ingin belajar kesenian tari topeng.

Tak cukup hanya dengan mengajar, demi merawat dan mengembangkan tari topeng, Aerli juga pandai memanfaatkan media jejaring sosial untuk memperkenalkan kesenian tradisional yang sudah mendarah daging di dalam dirinya itu sampai mancanegara.

Anak-anak muda pun cenderung tertarik jika kiprah tari topeng Aerli diceritakan melalui facebook ataupun blog. Tari topeng yang tergolong klasik mesti terus dilestarikan, dan medium digital banyak membantu proses transformasi nilai itu.

Tak heran jika warga negara asing sangat tertarik dan berkenan mengundang Aerli untuk menari ke luar negeri.

2. Dolorosa Sinaga (Seniman Patung)

Seni patung telah menjadi pilihan Dolorosa Sinaga. Perhatian perempuan kelahiran Sibolga, Sumatera Utara, 31 Oktober 1953 ini terhadap seni patung kelihatan setelah ia mengikuti pendidikan seni rupa (seni patung) di Institut Kesenian Jakarta. Untuk mendalami seni tersebut, ia meneruskan pendidikannya di St. Martin’s School of Art di London, Inggris. Kemudian ia menambah pengetahuan di Karnarija Lubliyana, Yugoslavia dan di Piero’s Art Foundry Berkeley, Amerika Serikat.

Perjalanan karyanya kemudian terfokus pada seni patung ternyata bukan sebuah kebetulan. Ia merasa menemukan “chemistry” pada patung ketika menjelang ujian akhir di LPKJ. “Ternyata aku lebih senang pada volume waktu bekerja, membentuk massa menjadi sebuah ekspresi, dan kerja keras seperti laku-laki! Aha itu, benar, ini sebuah pengakuan,” ia tertawa keras-keras. “Aku kini bertanya, apakah ada hubungannya dengan sejarah kelahiranku yang diharapkan sebagai bayi laki-laki.”

Karya patung pertama Dolo berupa figur abstrak yang dibentuk dari lempengan lilin. Gaya yang disebut sebagai “kepipihan” ini telah membuatnya termahsyur.

Belakangan, ia memilih figur perempuan. Mungkin saja ia ingin melesapkan seluruh energi keperempuanan yang dimilikinya melalui figur perempuan yang dibuatnya. Sampai pada tahun 2005, hanya ada dua karya figur lelaki yang dia buat yaitu DalaiLama dan Wiji Tukul.

Dalam menekuni seni patung, akhir-akhir ini, media patungnya beralih ke logam perunggu. Pilihan tersebut karena perunggu mempunyai kualitas yang dapat memukau dan permukaannya berkilau. Di dalam perunggu tersebut tersimpan nuansa karakter perempuan dan pada sisi lain perunggu memiliki kekuatan dan ketahanan yang cenderung sebagai karakter laki-laki. Oleh sebab itu dapat disimpulkan bahwa dalam karakter perunggu itu ada dua karakter yang bertentangan, tetapi tak dapat dipisahkan antara satu dan yang lainnya. Karena itulah ia memilih perunggu sebagai medianya.

Sekitar pertengahan Juni tahun lalu, Dolorosa mengadakan pameran di Pusat Kesenian Jakarta – Taman Ismail Marzuki (TIM). Pameran berjudul “Menarilah Dance Your Life” merupakan pernyataan artifisial Dolorosa kepada gerak. Ia ingin meraih kekuatan gerak dalam hidup. Menurutnya eksplorasi gerak tubuh bisa menjadi medium penyampai pesan.

Semua patung ia kerjakan dengan medium kertas timah, aluminium foil yang selama ini dikenal sebagai bungkus makanan. Di tangan Dolorosa, kertas timah yang sepele itu menjadi corong penyuara yang nyaring tentang gerak dan kebebasan. Nampaknya ia cukup menikmati proses kreatifnya. Karya yang cukup menarik adalah patung berjudul “Sufi Dancer”.

Gestur patung perempuan yang tipis dan ringkih menjadi ciri khas sang pematung. Patung “Sufi Dancer” menandai kejeliannya melihat dan merasakan gejala zaman. Sebuah pengalaman meruang di Indonesia. Mengusung semangat pembebasan, lepas dari sekat-sekat fisik, layaknya medium digital yang menembus batasan artifisial. Sebuah imaji melampaui batas.

Berkat ketekunannya di bidang seni patung, seabrek penghargaan pun ia raih. Diantaranya Visual Arts Award (2011), Anugerah Seni Citra Adhikarya Budaya dari Pemerintah Republik Indonesia (2009), Appointed to represent Indonesia at The Fifth ASEAN Square of Sculpture Symposium in Kuala Lumpur, Malaysia (1987), dan penghargaan dari UNESCO.

3. Linda Chritanty (Penulis Fiksi, Penutur Kesedihan)

Ketika usianya baru 19 tahun, cerpen pertamanya telah memenangkan penghargaan dari surat kabar Kompas. Selain sebagai penulis atau cerpenis, ia juga berprofesi sebagai jurnalis. Bahkan ia telah mengeluarkan sebuah buku yang berisi kumpulan laporan jurnalistiknya. Ia adalah Linda Christanty.

Pasca tsunami Aceh, tepatnya sejak 2005 hingga 2010, ia bertugas dan menetap di Banda Aceh serta memimpin Kantor Sindikasi Aceh Feature Service yang khusus menyajikan liputan seputar Aceh. Tema peliputannya pun beragam, mulai dari gender, anak–anak, agama, budaya, dan banyak lagi.

Sebagian dari kita lebih mengenalnya sebagai cerpenis. Karyanya dalam bentuk kumpulan cerpen yang berjudul Rahasia Selma telah terbit sekitar April 2010.

Rahasia Selma lebih banyak mengangkat permasalahan sosial yang sering terjadi dalam keseharian masyarakat kita. Seperti cerita Pohon Karsen yang menceritakan perempuan kecil yang menerima pelecehan seksual dari kerabatnya yang tinggal dalam satu atap, ironisnya gadis kecil ini diceritakan hanya dirayu dengan sejumlah komik.

Berikutnya adalah ‘Kesedihan’. Cerita lainnya mengangkat tentang LGBT, dalam hal ini menceritakan pasangan lesbian yang dikisahkan dalam cerpen “Mercusuar”, hingga hubungan yang hanya terjadi dalam dunia maya dalam cerita “Babe”, serta banyak lagi permasalahan dasar yang diangkat oleh Linda Christanty ke dalam karya cerpennya.

Hampir semuanya menyedihkan, namun juga menggambarkan bagaimana setiap tokoh punya cara masing-masing dalam menyelesaikan masalahnya. Mulai dari cara yang lemah seperti dalam “Pohon Karsen” hingga keras seperti dalam “Kupu-Kupu Merah Jambu”.

Sebagai jurnalis, Linda Christanty juga membukukan laporan–laporan jurnalistiknya dalam buku “Dari Jawa Menuju Atjeh” yang terbit pada 2009.

Setiap tulisannya, juga bisa kita simak melalui blog pribadinya www.lindachristanty.com.

Linda Christanty sendiri lahir di Bangka, dan bangga mengaku asli orang Bangka. Kumpulan cerpennya yang berjudul “Kuda Terbang Mario Pinto” mendapat pengharagaan Khatulistiwa Literary Award 2004.

Ia juga mendapatkan Penghargaan Suara Perempuan Award tahun 2010. Penghargaan ini diberikan oleh Radio Komunitas Suara Perempuan Aceh sebagai bentuk apreasiasi atas kontribusi, dedikasi dan inspirasi yang dipersembahkan Linda Christanty dalam bentuk karya jurnalistik untuk pemberdayaan perempuan di Aceh.

Hingga kini, Linda Christanty masih tetap aktif baik sebagai jurnalis maupun cerpenis, dan masih tetap dengan sigap dan aktif menangkap setiap peristiwa dan menginformasikannya kembali pada masyarakat dalam bentuk tulisan, baik dalam bentuk laporan jurnalistik maupun cerpen. Tidak hanya sekadar tulisan biasa, tetapi tulisan yang menggugah para pembacanya untuk berfikir, mau mengerti dan mengakui tentang apa saja yang terjadi dalam kehidupan ini.

Katagori: INDIHOME WOMAN ENVIRONMENTALIST

1. Aleta Baun (Penyelamat Hutan Sakral)

Aleta Baun, yang dikenal sebagai Mama Aleta, berasal dari Desa Naususu, Kecamatan Mollo, Timor Tengah Selatan (TTS), NTT. Seorang perempuan pemberani yang menghentikan perusakan lahan hutan sakral oleh sebuah perusahaan pertambangan di Pulau Timor.

Lahir dari keluarga petani, dia kehilangan ibunya saat ia masih di usia muda. Menghormati lingkungan sebagai identitas dan mata pencaharian serta bagian dari pendidikannya yang natural.

Seperti banyak masyarakat adat, Mollo memiliki hubungan yang mendalam dengan habitat mereka yang dapat dianggap sebagai yang sakral. Habitat ini mendukung mereka dengan menyediakan makanan, obat-obatan, lahan yang subur dan sejumlah tumbuhan yang bisa memberikan pewarna sehingga kaum perempuan lokal menggunakannya untuk mewarnai kain tenunan mereka.

Hubungan tradisional dan harmonis mulai terancam tahun 1980-an ketika pemerintah daerah mengeluarkan izin untuk perusahaan pertambangan untuk memotong marmer di daerah Gunung Mutis. Gunung ini adalah daerah yang kaya keanekaragaman hayati yang beberapa warga suku menganggapnya sebagai tempat sakral.

Izin operasi itu, yang dikeluarkan tanpa berkonsultasi dengan warga setempat, menyebabkan deforestasi merajalela yang akhirnya menyebabkan tanah longsor, polusi air dan berbagai masalah ekologis lainnya.

Kondisi tersebut memprovokasi Mama Aleta untuk segera mengambil tindakan. Melihat aktivitas pertambangan sebagai ancaman bagi kelangsungan hidup masyarakat adat setempat, ia dan tiga teman meluncurkan kampanye protes damai.(bhc/coy)



 
   Berita Terkait > Award
 
  Semua Medali di Olimpiade Tokyo Hasil Daur Ulang Ponsel dan Laptop Tua
  Kajari Gunung Mas Juara Umum Kinerja Terbaik Se Kalteng
  Ibu Negara Raden Ayu Siti Hartinah Soeharto, Sang Pahlawan Tanpa Tanda Jasa
  Delegasi Indonesia Berprestasi di Asean Skills Competition Dapat Penghargaan Menaker
  Sejumlah Kepala Daerah Raih K3 Award dari Kemnaker
 
ads1

  Berita Utama
Tolak Tawaran Jadi Duta Polri, Band Sukatani Akui Lagu "Bayar Bayar Bayar" Diintimidasi

Istana Dukung Kejagung Bersih-bersih di Pertamina: Akan Ada Kekagetan

Megawati Soekarnoputri: Kepala Daerah dari PDI Perjuangan Tunda Dulu Retreat di Magelang

Usai Resmi Ditahan, Hasto Minta KPK Periksa Keluarga Jokowi

 

ads2

  Berita Terkini
 
BNNP Kaltim Gagalkan Peredaran 1,5 Kg Sabu di Samarinda dan Balikpapan

Kasus Korupsi PT BKS, Kejati Kaltim Sita Rp2,5 Milyar dari Tersangka SR

Tolak Tawaran Jadi Duta Polri, Band Sukatani Akui Lagu "Bayar Bayar Bayar" Diintimidasi

10 Ribu Buruh Sritex Kena PHK, Mintarsih Ungkap Mental Masyarakat Terguncang

Anak 'Crazy Rich' Alam Sutera Pelaku Penganiayaan, Sudah Tersangka Tapi Belum Ditahan

ads3
 
PT. Zafa Mediatama Indonesia
Kantor Redaksi
Jl. Fatmawati Raya No 47D Lt.2
Cilandak - Jakarta Selatan 12410
Telp : +62 21 7493148
+62 85100405359

info@beritahukum.com
 
Beranda | Tentang Kami | Partner | Disclaimer | Mobile
 
  Copyright 2011 @ BeritaHUKUM.com | V2