MEDAN, Berita HUKUM - Kewenangan penyerahan pengusulan pelanggaran HAM berat pada institusi politik dituding akan menimbulkan intervensi politik yang tertuang dalam pasal 43 UU No 26 Tahun 2000. Hal ini menjadi acuan para akademisi untuk mengkaji ulang draf Rancangan Undang-Undang (RUU) agar segera diratifikasi kembali.
Menurut Ketua Tim Penyusun Naskah Akademik RUU Pengadilan HAM, DR. Eva Achjani Zulfa SH, MH menilai perubahan UU No 26 Tahun 2000 bila dilihat dari realita perkembangan Indonesia sudah meratifikasi 8 instrumen HAM Internasional secara substansi terkait dengan konteks pendefenisian unsur-unsur pelanggaran HAM berat.
"Kita melihat sudah perlu ada perubahan. Dan dilihat juga dari prakteknya kerja dari lembaga pengadilan HAM yang dalam hal ini kerjanya itu dikembalikan pada mekanisme yang ada didalam UU HAM itu sendiri, yang masih dirasakan masih banyak kekurangan," ucap DR. Eva Achjani Zulfa SH MH pada diskusi publik Penyusunan Naskah Akademik RUU Pengadilan HAM di Balai Wars, The Tiara Hotel and Covention Centre Medan, Selasa (30/10) siang.
Dalam pasal 43 ayat 1 menyatakan pelanggaran HAM berat terjadi sebelum diundangkannya UU ini, diperiksa dan diputus oleh Pengadilan HAM Ad-hoc. Ayat 2, Pengadilan HAM Ad-hoc sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 dibentuk atas usul Dewan Perwakilan Rakyat RI berdasarkan peristiwa tertentu dengan keputusan Presiden. Ayat 3, Pengadilan HAM Ad-hoc sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 berada di lingkungan Peradilan Umum.
Prof Sulaiman, salah seorang pembicara dalam diskusi itu menerangkan pada masa Orde Baru berkuasa selama 32 tahun telah banyak terjadi peristiwa-peristiwa yang dirasa merupakan pelanggaran HAM yang tidak dan atau belum pernah diselesaikan oleh pemerintah.
Bertolak dari historis sejarah, menurut Prof Sulaiman dengan dikeluarkannya Resolusi Dewan Keamanan PBB No 1264 Tahun 1999 yang isinya mengeram pelanggaran HAM yang terjadi di Indonnesia, diminta agar pelakunya mempertanggung jawabkan tindakannya di muka persidangan.
Bahkan muncul dorongan untuk membentuk Peradilan Interasional. Untuk mengantisipasi riuh-rendahnya masalah HAM di tanah air dan masyarakat internasional, maka Indonesia harus berdiplomasi untuk melawan kehendak dunia internasional untuk mengadili para tersangka/terdakwa di Pengadilan Internasional untuk pelanggaran HAM yang berat. Menepis anggapan bahwa Indonesia tidak dapat atau tidak berkeinginan untuk menuntut para tersangka/terdakwa yang dituduh melakukan pelanggaran HAM yang berat.
Dalam pasal 18 UU No 26 Tahun 2000 dijelaskan bahwa proses penyelidikan terhadap pelanggaran HAM yang berat dilakukan oleh KOMNAS HAM. Setelah itu berkasnya diserahkan pada Jaksa Agung seperti yang diatur dalam pasal 11. Kemudian hasilnya diserahkan pada DPR RI. Setelah berkas sampai di DPR, berkas tersebut disidangkan dalam sidang paripurna untuk menentukan apakah itu termasuk pelanggaran HAM berat atau tidak.
Namun dalam implementasinya, perkara pelanggaran HAM yang berat seperti yang terjadi di Timor-Timur, Tanjung Periok dan Papua, membuat kepentingan politik di DPR tarik menarik.
Menurut DR Eva Achjani Zulfa SH MH, hal tersebut menjadi suatu kelemahan dalam pasal demi pasal. "Kita bukan berpihak kepada siapa-siapa, kita hanya mencari opsi solusi berdasarkan hasil kajian akademisi. Seperti proses penyelidikan dan penyidikan. Setelah laporan yang diserahkan Komnas HAM ke Kejaksaan mendapat tanggapan yang dingin, itu karena ada perbedaan tujuan dalam dua instansi yang berbeda. Belum lagi bila kepentingan partai politik dalam penentuan sidang di DPR apakah pelanggaran HAM berat atau tidak. Memang benar, bila timbul opini bahwa Komnas HAM disamakan kayak KPK yang artinya punya penyidik sendiri itu tentu terbentur dengan keuangan negara, soal anggaran," ucap Eva.
Hal senada juga diucapkan Ketua Dewan Pengurus Kontras Pusat, Usman Hamid yang hadir dalam diskusi itu mengatakan kendala dari kasus penyelesaian HAM berat kerap kali berhenti di Jaksa Agung. Saat Komnas HAM menyelesaikan penyelidikan rekomendasinya tidak dilanjutkan Jaksa Agung. Itu suatu permasalahan. "Jaksa Agung beralasan perlu mendapat persetujuan dari Presiden terlebih dahulu. Baru Jaksa Agung melakukan penyidikan dan penuntutan," ucap Usman.
Hal tersebut juga ditujukan pada DPR RI. Setelah mendapat laporan dari Komnas HAM, lanjut Usman, maka DPR RI seharusnya memerintahkan Komnas HAM untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan lebih lanjut dalam mengumpulkan bahan bukan malah menutup-nutupi kasus tersebut.
Dari hasil diskusi tersebut ia menyimpulkan bahwa, pengadilan HAM yang sudah berdiri sejak UU tersebut diterbitkan masih terkendala sidangnya dengan proses penerusan berkas hasil temuan Komnas HAM. Terbukti, dari hasil konfirmasi pada Humas PN Medan, Ahcmad Guntur SH yang mengatakan, sejak ia berdinas di PN Medan, belum sekalipun sidang pelanggaran HAM dilaksakanan gedung tersebut. "Sejak saya dinas di Medan, selama tiga tahun, pengadilan HAM tidak pernah menangani perkara HAM. Artinya Pengadilan Negeri Medan belum pernah menerima berkas perkara pelanggaran HAM dari Kejaksaan," tutur Guntur.(bhc/tap) |