JAKARTA, Berita HUKUM - Anggota Komisi V DPR RI Suryadi Jaya Purnama mendesak Pemerintah untuk meninjau ulang besaran simpanan peserta yang telah ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 25 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera). Suryadi mengimbau, isi kebijakan PP Tapera seharusnya lebih memperhatikan kondisi perekonomian dampak dari pandemi yang masih berlangsung saat-saat ini.
Suryadi mengingatkan, di tengah pandemi Covid-19 pula, Bank Dunia memprediksi pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun ini bahkan hanya sebesar 0 persen. "Dengan kondisi perekonomian yang seperti sekarang ini, di mana konsumsi rumah tangga juga mengalami penurunan yang sangat signifikan, maka seharusnya Pemerintah berhati-hati pada saat menetapkan PP 25/2020," kata Suryadi dalam keterangan tertulisnya baru-baru ini.
Politisi Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (F-PKS) tersebut mengungkapkan, Undang-Undang (UU) Nomor 4 Tahun 2016 tentang Tapera yang menjadi dasar terbitnya PP 25/2020 ini pada awalnya dilahirkan untuk membantu pekerja atau buruh dalam memenuhi kebutuhan perumahan.
"Kejutannya adalah terkait besaran simpanan peserta yang ditetapkan sebesar 3 persen dari gaji atau penghasilan pekerja. Yakni, di mana 0,5 persen ditanggung oleh pemberi kerja dan 2,5 persen ditanggung oleh pekerja itu sendiri," imbuh legislator daerah pemilihan (dapil) Nusa Tenggara Barat II tersebut.
Sebelumnya diketahui, Deputi Komisioner Bidang Pemanfaatan Dana Tapera Ariev Baginda Siregar baru-baru ini menargetkan 13 juta peserta atau nasabah Tapera dalam lima tahun periode tabungan perumahan tersebut beroperasi. Peserta nasabah Tapera tahap awal berasal dari kelompok peserta Pegawai Negeri Sipil atau Aparatur Sipil Negara (ASN) yang berjumlah sekitar 4,2 juta orang.
Segmen peserta yang menerima manfaat berupa pembiayaan perumahan adalah masyarakat berpenghasilan rendah (MBR). Nantinya, kelompok peserta yang menjadi nasabah Tapera terdiri dari ASN, pegawai BUMN, BUMD, dan BUMDes, personel TNI-Polri, pegawai swasta, wiraswasta atau pekerja mandiri dan tenaga kerja asing atau pekerja WNA yang telah bekerja minimal enam bulan di Indonesia.
Sementara, Anggota Komisi V DPR RI Ahmad Syaikhu menyoroti lahirnya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 25 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera). Syaikhu mengungkapkan, peraturan tentang Tapera itu menjadi beban baru bagi rakyat di tengah pandemi Covid-19 yang masih mewabah hingga saat ini.
"Kita sangat terkejut. Di tengah pandemi Corona, kehadiran Tapera sudah pasti jadi beban baru rakyat. Sudah jatuh, tertimpa tangga pula. Harusnya dengan bercermin dari kondisi ini, PP Tapera tak perlu dihadirkan. Niat dan tujuannya baik. Tapi waktunya sangat tidak tepat," ujar Syaikhu dalam siaran persnya kepada Parlementaria, baru-baru ini.
Tak hanya itu, politisi Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (F-PKS) tersebut mengingatkan tentang iuran BPJS yang baru saja naik. Terlebih, sambung Syaikhu, belakangan publik di media sosial juga mempertanyakan kenaikan tarif listrik. "Lalu, kini rakyat diwajibkan menyisihkan gajinya dengan besaran 2,5 persen. Tak terbayangkan betapa nestapanya hidup rakyat," tandas Syaikhu.
Syaikhu menjelaskan, awalnya PP 25/2020 tentang Tapera ini merupakan amanah Undang-Undang (UU) Nomor 4 Tahun 2016 tentang Tapera. UU tersebut dilahirkan untuk membantu pekerja/buruh dalam memenuhi kebutuhan papannya. Selama hampir empat tahun, amanah UU tersebut diabaikan (seharusnya paling lambat Maret 2018 PP sudah terbit). Namun, tutur Syaikhu, tiba-tiba muncul pada tahun 2020 pada saat terjadi pandemi Covid-19.
Untuk itu, Syaikhu menegaskan, program Tapera perlu dikritisi. Terlebih, peraturan ini sudah sekitar 4 tahun terkesan diabaikan. Menurutnya, PP Tapera ini hadir pada saat yang tidak tepat. Apalagi, kata Syaikhu, program Tapera ini berpotensi menurunkan pertumbuhan ekonomi karena akan mengurangi belanja masyarakat. Syaikhu menyatakan, angka 3 persen yang dibebankan kepada pemberi kerja dan pekerja, tergolong besar. Untuk pekerja, besaran iuran harusnya tidak flat, tapi tergantung nominal gaji.
"Semua catatan ini, bukan berarti tidak setuju terhadap program rumah untuk rakyat. Karena sesuai data per Maret 2019, backlog kebutuhan perumahan masih sebesar 7,6 juta unit. Kebutuhan papan merupakan sesuatu yang sangat penting. Tapi, melihat semua catatan, Pemerintah harus sensitif. Hari ini, rakyat terhimpit kehidupannya. Cari makan kian susah. Pemerintah harus sensitif dengan penderitaan rakyatnya," pungkasnya.
Peserta BP Tapera adalah calon PNS, aparatur sipil negara (ASN), prajurit dan siswa Tentara Nasional Indonesia (TNI), Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri), pejabat negara, pekerja di Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), Badan Usaha Milik Desa, perusahaan swasta, dan pekerja apa pun yang menerima upah. Jumlah iuran simpanan peserta ditetapkan sebesar 3 persen dari gaji atau upah untuk peserta pekerja dan penghasilan untuk peserta pekerja mandiri. Demikian bunyi pasal 15 ayat 1 PP 25/ 2020.
Skema Tapera mengambil iuran dari pekerja dan pemberi kerja. Pemberi kerja menanggung 0,5 persen sementara pekerja 2,5 persen dari total gaji pegawai. Iuran itu maksimal dibayar tanggal 10 setiap bulan. Kepesertaan Tapera berakhir jika pekerja memasuki masa pensiun; mencapai usia 58 tahun (syarat khusus bagi peserta mandiri); peserta meninggal dunia; atau peserta tidak memenuhi kriteria sebagai peserta 5 tahun berturut-turut. (pun/sf/DPR/bh/sya)
|