JAKARTA (BeritaHUKUM.com) – Komisi Yudisial (KY) akhirnya bisa tersenyum sumringah. Pasalnya, pendaftaran calon hakim agung yang semula sepi peminat, ternyata membludak menjelang penutupan pendaftaran mengikuti seleksi calon hakim agung (SCHA).
Sebanyak 96 orang sudah mendaftar untuk mengikuti seleksi untuk menjadi hakim di lembaga peradilan tertinggi di Indonesia. Padahal, satu minggu sebelumnya, hanya 23 orang yang mendaftar sebagai calon hakim agung.
"Tercatat sebanyak 96 calon mendaftarkan diri untuk ikut seleksi calon hakim agung. Hasil ini diperoleh setelah masa akhir penutupan pendaftaran pukul 17.15 WIB sore ini. Dari 96 orang itu, 61 orang berasal dari hakim karir dan 35 orang dari nonkarir," kata Juru bicara KY Asep Rahmat Fajar kepada wartawan di gedung KY, Jakarta, Rabu (21/12).
Menurut dia, dari mereka yang mendafartar itu, KY masih akan menunggu dokumen pendaftaran bercap pos maksimal 21 Desember hingga 1-2 hari ke depan. Setelah semua pendaftar masuk, KY bersama Mahkamah Agung (MA) akan melakukan seleksi untuk mengajukan calon hakim agung.
Sebelumnya, KY menyatakan bahwa tidak mempersoalkan para hakim yang akan menjadi calon hakim agung, khususnya hakim tipikor dari berbagai daerah yang tengah diusut KY, terkait putusan bebasnya kepada para terdakwa kasus korupsi. Mereka tetap boleh mengajukan diri asalkan tidak pernah mendapat sanksi hukuman disiplin pelanggaran kode etik berupa pemberhentian sementara.
Bakar Toga
Sementara di depan gedung MA, belasan orang yang mengatas namakan Gerakan Masyarakat Peduli Penegakan Hukum menggelar aksi unjuk rasa. Mereka meminta agar MA mengambil sikap tegas terhadap putusannya terkait kasus perizinan GKI Yasmin Bogor yang hingga saat ini masih juga belum terselesaikan oleh Walikota Bogor Diani Budiarto.
Para pengunjuk rasa menyatakan bahwa dengan keluarnya putusan putusan peninjauan kembali (PK) MA bernomor 27/PK/TUN/2009 itu telah memiliki kekuatan hukum tetap yang terkait kasus GKI Yasmin Bogor. Atasa dasar ini, MA didesak untuk lebih tegas lagi menegur kepada lembaga pemerintahan untuk segera melaksanakan putusan yang telah berkekuatan hukum tetap (incraht) itu.
Aksi ini juga diwarnai dengan membakar boneka yang memakai baju toga hakim yang melambangkan matinya hukum di Indonesia. Pasalnya, putusan lembaga peradilan tidak dilakukan oleh pejabat lembaga pemerintahan yang mestinya memberikan contoh mematuhi aturan hukum yang belaku.(dbs/irw/wmr)
|