Komisi Pemilihan Umum (KPU) sangat mengadvokasi gagasan yang pro gender, terutama mengenai isu-isu perempuan dalam Pemilu 2014. Hal tersebut bisa dilihat dalam persyaratan pencalonan anggota DPR dan DPRD, KPU tidak hanya melaksanakan mandat UU mengenai jumlah keterwakilan 30 persen perempuan, tetapi juga dalam hal penempatan 30 persen perempuan tersebut secara benar dan tepat.
Pada Pemilu 2009, keterwakilan perempuan masih terbatas pada jumlah 30 persen dari daftar yang diajukan, sedangkan pada Pemilu 2014 ini tidak hanya sebatas 30 persen, tetapi juga harus diurutkan dengan seater system. Sementara itu isu gender juga menjadi perhatian KPU, contohnya ketika KPU membentuk lembaga penyelenggara pemilu di tingkat provinisi, dimana komposisi anggota tim seleksi maupun anggota KPU terpilih di tingkat provinsi juga harus 30 persen perempuan, bahkan di Provinsi Bali terdapat 3 orang perempuan terpilih menjadi anggota KPU.
Hal tersebut diungkapkan Anggota KPU RI Sigit Pamungkas dalam sikap serius KPU terhadap isu gender pada diskusi bersama Korps HMI Wati (KOHATI) PB HMI di Media Centre KPU, Jumat (10/01). Selain Sigit Pamungkas, diskusi ini juga menghadirkan Peneliti LIPI Siti Zuhro dan Ketua Umum KOHATI PB HMI Endah Cahya Immawati.
“Kalau kita bicara isu gender sebenarnya tidak terbatas pada perempuan, tetapi nalar berpikir, konstruksi logika, dan metode berpikir, sehingga isu gender itu tidak ada hubungan dikotomis antara laki-laki dan perempuan. Maka sebenarnya yang dibutuhkan oleh gerakan gender ke depan adalah mendorong sebanyak-banyaknya individu yang kredibel sekaligus pro gender,” tambah Sigit yang juga memegang divisi sosialisasi dan pendidikan pemilih di KPU.
Sementara itu Peneliti LIPI Siti Zuhro menguraikan hasil pemetaannya mengenai isu gender pada penyelenggaraan Pemilu 1999 hingga Pemilu 2014. Kalau dievaluasi secara kritis, Pemilu 1999 sampai pasca Pemilu 2009 secara umum suara perempuan meningkat. Pada Pemilu 1999 perolehan suara perempuan di legislatif 8,9 persen, tahun 2004 naik mencapai 11 persen. Sementara itu tahun 2009 kenaikan mencapai 18 persen, walau keterwakilan perempuan belum mencapai 30 persen.
Dihadapan peserta diskusi, Siti Zuhro mengungkapkan bahwa politik itu masih dalam taraf mengejar jumlah suara dan kepala, artinya masih kuantitas, belum pada kualitas. Padahal sebetulnya dengan banyaknya perempuan di parlemen dan yudikatif seharusnya bisa bermanfaat dalam konteks efektif, artinya dia diharapkan mampu memberikan kontributisi positif bagi pro gender.(kpu/bhc/rby) |