JAKARTA (BeritaHUKUM.com) – Pelaksanaan pemilihan umum kepala daerah (pemilukada) kerap diwarnai kecurangan. Namun, kecurangan itu, tak lagi hanya melibatkan perorangan, melainkan juga pihak penyelenggaran, yakni Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD), Panitia Pengawas pemilu (Panwaslu), dan aparat pemerintah daerah.
Padahal, dari perspektif demokrasi, pemilukada sangat baik bagi perkembangan demokrasi. Namun, realitas umum menemukan bahwa pemilukada belum mampu menjamin terwujudnya demokrasi, karena adanya distorsi demokrasi. Hal ini ditegaskan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MA saat memberikan pernyatannya dalam dalam seminar nasional di Jakarta, Rabu (25/1).
Kondisi ini, lanjut dia, menyebabkan berbagai persoalan yang cenderung mencederai demokrasi. Hal ini dapat dilihat dari data bahwa hingga akhir 2011 telah diterima dan diperiksa 392 permohonan perkara perselisihan hasil pemilukada di MK. "Semua pemilu kada pasti diwarnai kecurangan, yang sah sekalipun. Pasti ada curangnya, pasti ada pelanggarannya. Dari 392 perkara, hanya 45 perkara yang dianggap memenuhi syarat pemilukada diulang atau dibatalkan,” jelasnya.
Dari banyaknya jumlah perkara perselisihan pemilukada yang masuk ke MK, lanjut dia, ternyata juga terungkap berbagai modus kecurangan yang terjadi dalam proses pemilukada. Beberapa modus kecurangan pemilukada itu, selalu meningkat dari waktu ke waktu. Awalnya, kecurangan hanya melibatkan peserta pemilukada. Namun, setelah tahu cara MK menghukum calon perorangan, kini kecurangan melibatkan KPU.
“Penyelenggara pemilu itu kadang sengaja meloloskan calon dari awal. Padahal, yang bersangkutan sudah jelas tidak memenuhi syarat. Tujuannya untuk memecah suara. Misal, suara A pecah dan suara B jadi menang. Kecurangan lain dengan membuat calon memenuhi syarat, tapi dibuat tidak memenuhi syarat atau mencoretnya. Jika memenuhi syarat dan dicoret tidak boleh berperkara ke MK, karena dianggap tidak pernah menjadi peserta. Itu kecurangan model baru," jelas Mahfud.
Bahkan, imbuhnya, dalam beberapa kasus kecurangan pemilukada sampai melibatkan Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu). Selain itu, kecurangan juga melibatkan aparat dan pemerintah daerah, karena pemilukada memicu politisasi birokrasi. Di berbagai daerah, calon incumbent hampir selalu melibatkan mobilisasi massa PNS. “Mereka itu mulai dari pegawai biasa, kepala desa, lurah hingga camat dan lainnya,” tandas dia.
Pemilukada Aceh
Pada bagian lain, Mahfud memastikan bahwa MK akan menggelar putusan akhir sengketa pemilukada Aceh pada Jumat (27/1) lusa. Namun, dia belum dapat memastikan putusan akhir MK nanti akan berisi pemilukada Aceh diundur atau tidak. "Saya belum tahu ada kemungkinan itu atau tidak. Nanti lihat saja pada Jumat. Kami akan memberi putusan akhir pukul dua siang," ujarnya.
Tapi Mahfud memastikan bahwa putusan akhir MK nanti menyangkut segala hal yang berkaitan dengan kelangsungan Pemilukada Aceh, agar terselenggara dengan baik. Hal ini merupakan harapan seluruh warga Aceh, agar pesta demokrasi itu berlangsung aman dan damai. “Kami akan putusan yang terbaik bagi smeua pihak, khususnya masyarakat Aceh,” tegas dia.
Sebelumnya diberitakan, MK mengeluarkan putusan sela pada Selasa (17/1) lalu, berisi memerintahkan kepada Komisi Independen Pemilihan (KIP) Aceh untuk membuka kembali pendaftaran pasangan calon gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, dan wali kota/wakil wali kota. Hal ini untuk memberi kesempatan kepada bakal pasangan calon baru untuk mendaftar, baik yang diajukan parpol, gabungan parpol maupun perseorangan.(mic/wmr)
|