JAKARTA, Berita HUKUM - Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 1 tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang digugat secara formil dan materiil. Undang-Undang tersebut disahkan oleh Presiden Joko Widodo pada 18 Maret 2015 lalu.
Gugatan diajukan oleh seorang Pegawai Negeri Sipil, Afdoli. Pemohon menilai secara formil, UU 8/2015 tidak memenuhi syarat pembentukan UU. Menurutnya, dalam pembahasan UU harus disertai naskah akademis. Namun, UU 8/2015 hanya dibahas sebanyak 3 kali dan dalam waktu 7 hari kerja telah berhasil mengubah norma pokok UU 1/2015.
“Perubahan tersebut telah menyentuh pasal utamanya, yaitu mengubah pemilihan gubernur, bupati, dan walikota secara berpasangan yang dipilih langsung oleh rakyat secara demokratis,” ujarnya dalam sidang perdana perkara nomor 46/PUU-XIII/2015 di ruang sidang MK, Jakarta, Rabu (22/4).
Sedangkan dalam pengujian materiil, Pemohon menyatakan tiga hal yang menjadi pokok permohonannya. Pertama, pemilihan gubernur, bupati, dan walikota harus sesuai dengan ketentuan Pasal 18 ayat (4) Undang-Undang Dasar 1945, yang menyatakan bahwa gubernur, bupati, walikota adalah kepala pemerintahan di tingkat provinsi kabupaten dan kota yang dipilih secara demokratis.
“Secara jelas dan tegas, rakyat ini menyatakan bahwa yang dipilih secara demokratis adalah gubernur, bupati, dan walikota. Namun di dalam perubahan dipilih secara paket bersama wakilnya,” jelasnya.
Kedua, Pemohon menggugat materi Pasal 7 huruf s, t, dan u UU 8/2015 terkait dengan persyaratan calon kepala daerah. Menurutnya, terjadi diskriminasi bagi PNS yang akan mencalonkan diri menjadi kepala daerah karena dituntut untuk mengundurkan diri, baik secara pekerjaan maupun jabatan. Sementara peserta kandidat calon yang lain, seperti pegawai BUMN, cukup mengundurkan diri dari jabatannya, sementara dari pekerjaan tetap.
“Anggota calon yang berdasarkan dari anggota maupun ketua DPRD, DPR yang berlatar belakang legislatif tetap secara jabatan maupun pekerjaan. Begitu juga dengan incumbent karena tidak tertulis dan sudah pernah diputuskan MK bahwa incumbent tidak mengundurkan diri secara jabatan,” urainya.
Terakhir, Pemohon menilai adanya diskriminasi pada calon perseorangan. Menurut Pemohon, calon kepala daerah jalur perseorangan menggunakan data jumlah pemilih sebagai dasar, sedangkan jalur politik menggunakan data suara sah. “Mengapa jalur perseorangan harus menggunakan dasar perhitungan data jumlah penduduk? Padahal logikanya, ketika kita mengumpulkan KTP, yang kita hitung adalah dasarnya orang yang mempunyai KTP, dan anehnya lagi partai politik menggunakan data suara sah,” imbuhnya.
Oleh karena itu, Pemohon mengajukan provisi, yakni meminta MK memerintahkan KPU untuk menghentikan atau setidak-tidaknya menunda tahapan pemilihan gubernur, bupati, dan walikota sampai adanya putusan MK yang dalam perkara a quo yang berkekuatan hukum tetap.
Pemohon juga meminta MK menyatakan sejumlah pasal yang diujikan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
Menanggapi permohonan tersebut, Majelis Hakim yang diketuai Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna menyarankan Pemohon untuk mempertegas legal standingnya. Majelis Hakim juga menekankan provisi dalam petitum tidak diatur dalam UU tentang Mahkamah Konstitusi. “Jadi itu akan biasanya nanti akan diputus bersamaan dengan pokok perkara, begitu saja,” ujarnya.
Sedangkan Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams menyarankan Pemohon untuk memperjelas norma-norma, yang dimohonkan uji konstitusionalitasnya. “Dalam UU MK Pasal 51A angka 5, kalau uji materiil, ayat, pasal, dan/atau bagian itu disebutkan. Jadi tidak borongan begini, ya, kecuali tadi Saudara menguji formil,” jelasnya.(LuluHanifah/mk/bh/sya) |