JAKARTA, Berita HUKUM - Pemimpin yang terpilih lewat sistem demokrasi sangat rumit, karena membutuhkan suara rakyat yang turun naik. Untuk itu, pemimpin yang terpilih secara demokratis butuh pemahaman yang luas untuk menuntun rakyatnya sekaligus mampu memanfaatkan semua sistem kenegaraan dengan efektif.
Wakil Ketua DPR RI Fahri Hamzah dalam acara Netizen #NgopiBarengFahri di bilangan Duren Sawit, Jakarta, beberapa waktu lalu, menyatakan, sistem kepemimpinan yang paling rumit adalah demokrasi. Dukungan suara rakyat berfluktuasi seperti mata uang. Suara rakyat juga kerap sulit diprediksi. Ini sangat berbeda dengan sistem otoriter yang begitu kuat dan tidak bisa diperdebatkan.
"Pagi anda menang di pemilu, besoknya akseptabilitas atau kepuasan publik bisa turun. Pak Jokowi sekarang, kepuasan publiknya ada di bawah 50. Padahal, waktu terpilih, dia di atas 50 follow tail suaranya. Kenapa? Karena sumbernya adalah persetujuan rakyat melalui kotak suara," jelasnya.
Politisi dapil NTB ini melanjutkan, sistem demokrasi seperti smartphone yang memiliki banyak fitur dan sangat kompleks. Sangat disayangkan, bila demokrasi yang sudah seperti smartphone, tapi pemimpin yang terpilih tidak menguasai fitur-fitur demokrasi seperti dalam smartphone.
"Nah, problem kepemimpinan kita sekarang ini sama seperti smartphone, tapi sayangnya kapasitas pemimpinnya seperti handphone jadul. Itu aja cara berfikirnya. Jadi fitur yang dimengerti oleh Jokowi dan kawan-kawannya itu adalah jadul, karena instrumen-instrumennya tidak dipakai," ungkapnya
Fahri menegaskan kembali, satu fitur penting yang tidak dipakai oleh Jokowi adalah pemanfaatan mimbar istana. Harusnya sebagai presiden, Jokowi memanfaatkan fitur itu untuk berbicara setiap hari kepada bangsa Indonesia tentang persoalan bangsa dan negara. Inilah cara berpikir kompleks yang tidak ada dalam kepemimpinan saat ini.
"Fitur itu harus dipakai, karena setiap pagi rakyat menunggu apa yang akan dilakukan seorang presiden dan mau dibawa ke mana bangsa ini. Tapi itu tidak dipakai, maka pemerintah setiap hari seperti orang panik, tidak mengerti harus melakukan apa," kata Fahri. Ia mencontohkan kasus berton-ton narkoba masuk ke Indonesia. Presiden Jokowi, nilai Fahri, tidak memiliki sense of crisis atau tidak memberikan warning kepada pengirim.(mh/sc/DPR/bh/sya)
|