JAKARTA (BeritaHUKUM.com) Kontroversi moratorium remisi bagi terpidana korupsi membuat Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD harus angkat bicara. Ia dengan nada tegas mendukung Kementerian Hukum dan hak Asasi manusia (Kemenkumham) mengeluarkan kebijakan moratorium tersebut.
Bahkan, Mahfud memuji langkah yang diambil oleh Menkumham Amir Syamsudin dan Wamenkumham Denny Indrayana. Kebijakan ini pun pantas mendapatkan apresiasi. "Saya sangat setuju. Soal hukum aturannya memang bisa diperdebatkan," kata Mahfud di gedung MK, Jakarta, Kamis (3/11).
Dasar dukungannya itu, lanjut dia, karena korupsi telah merusak masa depan bangsa. Oleh karenanya, remisi terhadap koruptor diperketat. Meski UU Pemasyarakatan menyebutkan tiap terpidana berhak mendapat remisi dan pembebasan bersyarat, tapi teknis pelaksanaan UU itu dijabarkan ketentuan dan syarat-syaratnya sesuai Peraturan Pemerintah (PP) yang berlaku.
Atas pertimbangan rasa keadilan masyarakat itulah, menurut dia, pemerintah bisa melakukan pengetatan moratorium remisi bagi terpidana kasus korupsi. Dalam PP juga secara jelas menyebutkan bahwa pemberian remisi atau pembebasan bersyarat itu harus memperhatikan rasa keadilan masyarakat. "Dikatakan moratorium itu melanggar UU, rasanya tidak juga," tandas Mahfud.
Sementara itu, Wamenkumham Denny Indrayana menegaskan bahwa kebijakan pengetatan syarat pemberian remisi bagi koruptor bukan kebijakan politis. Pasalnya, kebijakan pengetatan syarat remisi koruptor ini tidak untuk orang per orang. Aturan ini berlaku secara umum begi terpidana korupsi.
Menurut dia, kriteria napi korupsi, terorisme, dan narkoba yang dapat diberikan remisi atau pembebasan bersyaratnya adalah jika yang bersangkutan merupakan justice collaborator. Hal ini diperlihatkan dengan memberikan fasilitas itu bagi Agus Condro. Dia memenuhi syarat sebagai justice collaboration, karena memberikan informasi yang akurat dan informasi tersebut terbukti dipersidangan, jelas dia.(dbs/wmr)
|