JAKARTA, Berita HUKUM - Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 (UU Pemilu) pada Selasa (5/10/2021). Permohonan yang teregistrasi Nomor 50/PUU-XIX/2021 ini diajukan oleh Herifuddin Daulay yang berprofesi sebagai Guru Honorer SMK dari Dumai. Sidang yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Saldi Isra dengan didampingi oleh Hakim Konstitusi Arief Hidayat dan Daniel Yusmic P. Foekh selaku dua hakim anggota lainnya, diselenggarakan di Ruang Sidang Panel MK dan diikuti secara daring oleh Pemohon. Pada permohonan ini, Pemohon mengujikan Pasal 227 dan Pasal 229 UU Pemilu yang dinilai bertentangan dengan Pasal 27 ayat (2) UUD 1945.
Hadir tanpa didampingi kuasa hukum, Herifuddin mengungkapkan alasan permohonannya bahwa bangsa dan kebangsaan Indonesia telah mengalami banyak kehidupan, mulai dari kehidupan di bawah kekuasaan kerajaan, penjajahan oleh bangsa lain, pergerakan perjuangan kemerdekaan, hingga reformasi. Berpedoman pada Pembukaan UUD 1945, jelasnya, bahwa tujuan utama perjuangan kemerdekaan adalah agar bangsa Indonesia dapat memimpin dirinya sendiri termasuk pula di dalamnya presiden yang memimpin yang hanya dari Warga Negara Indonesia (WNI) berkebangsaan Indonesia asli.
"Ini adalah pokok urusan utama dalam kehidupan bernegara di NKRI sebagai wadah bernaungnya bangsa Indonesia. Dan hal yang tidak bisa dipungkiri, lahirnya NKRI adalah oleh bangsa Indonesia, bumi putera, yaitu Warga Negara Indonesia bertumpah darah Indonesia," jelas Herifuddin.
Menurut Pemohon, UU 7/2017 yang berlaku saat ini untuk memilih presiden dan wakil presiden belum mencerminkan sebagai perpanjangan tangan aturan-aturan dasar UUD 1945. Bahwa masih terdapat kesalahan-kesalahan yang kategorinya fatal karena menyelisihi konstitusi. Kesalahan-kesalahan ini, sambung Herifuddin, bersifat fatal karena dapat menjadi celah kembalinya bangsa Indonesia dipimpin oleh bangsa lain namun berkewarganegaraan Indonesia.
Sistematika Permohonan
Dalam nasihat Majelis Hakim Sidang Panel, Hakim Konstitusi Arief memberikan beberapa catatan perbaikan untuk permohonan yang diajukan Pemohon. Di antaranya Pemohon diharapkan dapat membaca PMK Nomor 2 Tahun 2021, yang di dalamnya termuat pedoman sistematika permohonan. Selain itu, Pemohon juga diharapkan dapat mempelajari contoh permohonan yang baik pada laman MK (mkri.id) sehingga permohonan dapat menjadi sesuai dengan ketentuan hukum beracara MK.
"Dalam permohonan ini masih belum sesuai sistematikanya sehingga harus diperbaiki. Sistematikanya disesuaikan dan bukti yang dituliskan pada permohonan ini ditempatkan pada bagian tersendiri. Jadi, permohonan ini intinya terdiri dari uraian identitas, kewenangan Mahkamah, kedudukan hukum Pmeohon, yang di dalamnya diuraikan subjek perseorangan lalu kerugian konstusionalnya yang diakibatkan oleh pasal ini. Lalu, kenapa pasal ini bertentangan dengan UUD 1945," saran Arief.
Sementara itu, Hakim Konstitusi Daniel memberikan nasihat agar Pemohon menguraikan kerugian konstitusional pihaknya sehingga terlihat pertentangan keberlakukan UU a quo dengan norma yang ditetapkan UUD 1945. Selanjutnya Pemohon juga diharapkan membaca Putusan MK yang pernah memutus perihal pengujian pasal yang juga diajukan oleh Pemohon pada perkara ini.
Sedangkan Hakim Konstitusi Saldi, meminta agar Pemohon dapat menjelaskan kerugian yang dialami Pemohon jika presiden yang dipilih/terpilih bukan orang Indonesia asli. "Jika Pemohon tidak bisa menjelaskan kerugian dengan berlakunya UU ini dan mengapa ini diajukan,maka permohonan ini dapat saja dianggap tidak memiliki kedudukan hukum sehingga permohonan berhenti karena tidak ada kerugian yang benar-benar dialami Pemohon atas berlakunya norma yang diujikan ini," tandas Saldi.(MK/bh/sya) |