JAKARTA (BeritaHUKUM.com) – Rapat kerja (Raker) Komisi III DPR dengan Menkumham akhirnya dihentikan. Setelah melakukan lobi, enam fraksi menyepakati raker dihentikan. Keenam fraksi tersebut adalah Golkar, PDIP, PKS, PPP, PAN dan Hanura. Sementara Fraksi Gerindra abstain dan Fraksi Partai Demokrat meminta dilanjutkan.
"Enam fraksi meminta untuk tidak melanjutkan rapat setelah mendengar keterangan Menkumham," kata Wakil Ketua Komisi III DPR Azis Syamsuddin yang menjadi pimpinan rapat kerja dengan jajaran Kemenkumham di gedung DPR, Jakarta, Senin (13/2).
Hal ini menyusul permintaan anggota Fraksi Golkar DPR Nudirman Munir. Bahkan, ia meminta rapat tidak dilanjutkan karena dinilai melanggar konstitusi, yakni lima UU sekaligus. Namun, tidak dijelaskan UU yang dimaksud. Hal senada juga disampaikan anggota Fraksi PDIP DPR Trimedya Pandjaitan.
Penghentian Raker ini adalah efek dari sikap Menkumham Amir Syamsuddin yang mempertahankan persoalan keputusan pengetatan remisi koruptor yang diberlakukan sementara. Sedangkan sejumlah anggota DPR malah sebaliknya. Tidak ada hasil apa-apa dari raker tersebut. “Kalau sudah jadi keputusan, saya tidak posisi mengintervensi. Tidak menghalangi hak-hak Komisi III DPR," kata Amir.
Memang dalam Raker Komisi III DPR dengan Menkumham Amir Syamsuddin berjalan a lot. Raker ini mengagendakan pembahasan lanjutan pengetatan remisi untuk koruptor. Menkumham mneyatakan bahwa keputusan pengetatan remisi tetap diberlakukan. Menkumham masih menunggu pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).
Penjelasan ini menampik perdebatan sejumlah anggota Fraksi. Bahkan, dengan ngototnya Menkumham pada keputusan pengetatan remisi itu, membuat sebagian anggota bersikukuh mengajukan hak interpelasi. Fraksi yang terlihat ngotot adalah Fraksi Golkar yang didukung FPPP dan FPKS. Partai ini bahkan ngotot untuk mendukung hak interpelasi tersebut.
Kartu Khusus
Sebelum raker ini dihentikan, persoalan kartu khusus yang digunakan M Nasir saat mengunjungi M Nazaruddin di rutan, sempat menjadi perdebatan yang panas. Bahkan, politikus Partai Hanura, Syarifuddin Suding mengembalikan kartu khusus tersebut kepada Kemenkumham, "Dari pada menimbulkan polemik, lebih baik saya kembalikan," katanya.
Sedangkan anggota Fraksi Partai Demokrat DPR Ruhut Sitompul mengatakan, bahwa apa pun argumennya, M Nasir tetap salah. "Apapun argumentasi, Nasir salah. Aku minta maaf, karena Nasir merupakan anggotanya dari Fraksi Demokrat,” kata Ruhut.
Ruhut membeberkan, kesalahan Nasir adalah tidak bisa membedakan mana fungsi anggota dan mana fungsi keluarga. Dia yakin, bahwa apa yang dilakukan Nasir bukan untuk pengawasan. Apalagi, dia membawa pengacara. “Jelas itu sudah batal," katanya.
Kartu khusus untuk anggota Komisi III DPR, agar bisa bebas mengunjungi lapas dan rutan sudah ada sejak 2010. Kartu khusus itu diberikan oleh Menkumham ketika dijabat Patrialis Akbar. Keputusan adanya kartu tersebut ditetapkan dalam sebuah rapat antara Patrialis dengan Komisi III DPR pada Januari 2010.
Dalam rapat kala itu, Komisi III mengungkapkan beberapa permasalahan yang ada di lapas atau rutan seperti transaksi narkoba, ruang khusus untuk berhubungan intim dan fasilitas istimewa untuk para narapidana.
Munculnya berbagai persoalan tersebut, membuat Komisi III dicaci maki, dipertanyakan kinerjanya sejauh ini. Ketika itu, Komisi III dianggap membiarkan kasus muncul di lapas dan rutan. Lalu, saat itu disepakati semua anggota Komisi III diberi akses seluas-luasnya kapan saja masuk dalam rangka pengawasan. Tidak boleh jam besuk dan tidak diberitahukan dulu, bisa langsung sidak.
Seperti diketahui, dari 52 anggota Komisi III DPR, hanya 16 orang yang memiliki kartu khusus tersebut. Pasalnya, ketika Kemenkumham meminta kelengkapan formulir pembuatan kartu tersebut, hanya 16 anggota yang melengkapi. Hal ini diketahui Menkumham Amir Syasuddin, setelah memeriksa administrasi.(dbs/rob/irw)
|