Beranda | Berita Utama | White Crime | Cyber Crime | EkBis | Opini | INDEX Berita
Eksekutif | Legislatif | Gaya Hidup | Selebriti | Nusantara | Internasional | Lingkungan
Politik | Pemilu | Peradilan | Perdata| Pidana | Reskrim
Politik    
HAM
Komnas HAM: Polri Berlebihan Dalam Tangani Insiden Bima
Tuesday 03 Jan 2012 16:02:35
 

Sejumlah anggota kepolisian berpakaian preman menyeret warga yang tertangkap setelah bentrokan di Pelabuhan Sape (Foto: Ist)
 
JAKARTA (BeritaHUKUM.com) – Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menemukan fakta serta bukti bahwa aparat kepolisian telah bertindak berlebihan dalam dalam insiden bentrok di Pelabuhan Sape, Lambu, Bima, Sumbawa, Nusa Tenggara Barat (NTB), Sabtu (24/12) lalu. Tindakan polisi pun dianggap telah menyalahi prosedur tetap (Protap) soal Penanganan Aksi Unjuk rasa.

Komnas HAM pun menemukan ada empat protap yang dilewati kepolisian. Protap yang dilangkahi tersebut, antara lain tidak ada pengendalian massa dengan tangan kosong lunak, pengendalian massa dengan tangan kosong keras, penggunaan senjata tumpul dan penggunaan senjata kimia seperti pakai air cabai.

“Sesuai ketentuan Pasal 5 ayat (1) Perkap Nomor 1 Tahun 2009, telah diatur enam tahap tentang tentang penggunaan kekuatan dalam tindakan kepolisian. Enam tahap itu secara berurutan yakni pencegahan, perintah lisan, kendali tangan kosong lunak, kendali tangan kosong keras, kendali senjata tumpul, seperti senjata kimia, gas air mata, semprotan cabai. Tapi polisi langsung loncat pada an kendali senjata api,” kata Wakil Ketua Komnas HAM Ridha Saleh dalam jumpa pers di Jakarta, Selasa (3/1).

Menurut dia, hal ini juga diperkuat dengan gambar video, saat pembubaran unjuk rasa tersebut. Secara jelas terlihat, bagaimana sejumlah aparat Brimob menggunakan senjata api dalam mengusir warga. Bahkan, sejumlah anggota Brimob tampak mengambil dan mengantongi beberapa peluru-peluru yang jatuh ke tanah, agar tidak dapat dijadikan barang bukti. Bahkan, ada reserse yang terlibat dalam operasi terbuka itu. Mereka terlihat memukuli dan menendang warga yang sudah menyerah.

Aksi represif dari kepolisian itu, lanjut Ridha, juga menyalahi aturan karena sekitar 100 pengunjuk rasa telah mengikuti arahan polisi dan tidak melakukan penyerangan atau perlawanan sama sekali. Tapi justru polisi melakukan penyerangan dan penembakan terhadap warga yang sudah menyerah. "Bahkan warga-warga yang sudah menyerah itu, kemudian diperlakukan secara tidak manusiawi dengan cara ditembak dari jarak dekat, dipukul, diseret, dan ditendang," paparnya.

Diungkapkan Ridha, alasan tidak menggunakan sejumlah protap seperti water canon itu, tidak bisa menjadi alasan. Sebagai salah satu institusi penegak hukum yang tinggi, Polri harus menjalankan protap-protap tersebut secara profesional. "Kalau alasan water canon membahayakan keselamatan warga, itu sama sekali tidak benar. Kami tahu bahwa pinggir laut itu tidak terlalu dangkal. Bahkan, beberapa orang lebih memilih terjun ke laut untuk menyelamatkan diri dari tembakan aparat keamanan," jelasnya.

Sedangkan korban tewas dalam peristiwa itu, sebanyak tiga orang tewas dan 30 orang mengalami luka tembak. Dari tiga orang yang tewas itu, yakni Syaiful alias Fu (17), Arif Rahman (18) dan Syarifudin (46). Sedangkan 30 orang yang luka akibat luka tembak tersebut, 10 orang di antaranya merupakan anak-anak berusia 13-17 tahun. Puluhan korban luka-luka itu, termasuk luka tembak maupun luka akibat dipukul polisi.

"Polisi melakukan penyerangan dan penembakan terhadap warga yang sudah menyerah. Kemudian diperlakukan secara tidak manusiawi dengan cara ditembak dari jarak dekat, dipukul, diseret, dan ditendang," imbuh Ridha.

Sementara Ketua Komnas HAM Ifdhal Kasim menambahkan, hasil investigasi tersebut didapatkan berdasarkan olah di tempat kejadian, Pelabuhan Sape dan di Kampung Jala. Tim juga melakukan pertemuan dengan warga, permintaan keterangan terhadap saksi dan korban, kunjungan ke Rutan Bima, kunjungan ke RSUD Bima dan RUUD NTB.

"Investigasi ini juga berdasarkan pertemuan dengan jajaran kepolisian, pertemuan dengan Gubernur NTB, DPRD Provinsi NTB, Bupati Bima, DPRD Kabupaten Bima serta pertemuan dengan organisasi kemahasiswaan dan LSM setempat," jelas dia.

Sebelumnya, dari hasil penyelidikan internal yang dilakukan Irwasum dan Propam Mabes Polri, tindakan yang dilakukan Polisi di Bima terbukti melakukan kekerasan fisik kepada warga. Hingga kini sudah 115 anggota kepolisian NTB yang diperiksa tim internal Mabes Polri. Sebanyak 115 anggota itu terdiri dari berbagai unsur, seperti Brimob, Reserse, Dalmas, dan lainnya. Sedangkan korban jiwa, Polri bersikukuh hanya dua orang.(dbs/wmr)



 
   Berita Terkait > HAM
 
  Prabowo Subianto Ditantang Minta Maaf ke Publik Soal Dugaan Pelanggaran HAM Masa Lalu
  Jokowi: Dengan Pikiran Jernih Saya Mengakui Pelanggaran HAM Berat Memang Terjadi
  Pemerintah Indonesia Diminta Tanggapi Serius Tuduhan Pelanggaran HAM dalam Aplikasi Pedulilindungi
  Polri Gelar Lomba Orasi Unjuk Rasa Peringati Hari HAM
  Barikade '98 Desak Pemerintah Tuntaskan Kejahatan HAM 1998 dan Kasus Korupsi
 
ads1

  Berita Utama
Tolak Tawaran Jadi Duta Polri, Band Sukatani Akui Lagu "Bayar Bayar Bayar" Diintimidasi

Istana Dukung Kejagung Bersih-bersih di Pertamina: Akan Ada Kekagetan

Megawati Soekarnoputri: Kepala Daerah dari PDI Perjuangan Tunda Dulu Retreat di Magelang

Usai Resmi Ditahan, Hasto Minta KPK Periksa Keluarga Jokowi

 

ads2

  Berita Terkini
 
BNNP Kaltim Gagalkan Peredaran 1,5 Kg Sabu di Samarinda dan Balikpapan

Kasus Korupsi PT BKS, Kejati Kaltim Sita Rp2,5 Milyar dari Tersangka SR

Tolak Tawaran Jadi Duta Polri, Band Sukatani Akui Lagu "Bayar Bayar Bayar" Diintimidasi

10 Ribu Buruh Sritex Kena PHK, Mintarsih Ungkap Mental Masyarakat Terguncang

Anak 'Crazy Rich' Alam Sutera Pelaku Penganiayaan, Sudah Tersangka Tapi Belum Ditahan

ads3
 
PT. Zafa Mediatama Indonesia
Kantor Redaksi
Jl. Fatmawati Raya No 47D Lt.2
Cilandak - Jakarta Selatan 12410
Telp : +62 21 7493148
+62 85100405359

info@beritahukum.com
 
Beranda | Tentang Kami | Partner | Disclaimer | Mobile
 
  Copyright 2011 @ BeritaHUKUM.com | V2