BANTEN, Berita HUKUM - Mantan narapidana kasus terorisme (napiter) Yudi Zulfahri mengunjungi Lapas Kelas II A Cilegon, Kamis (29/4). Kehadiran eks aparatur sipil negara (ASN) jebolan Sekolah Tinggi Pemerintahan Dalam Negeri (STPDN) yang kini menjadi IPDN itu, hendak memberikan sedikit pencerahan kepada napiter.
Dalam kesempatan itu, ia mengunjungi napiter berinisial MA (38). Napiter tersebut sebelumnya telah menyampaikan ikrar setia kepada NKRI.
MA sendiri, diketahui masuk penjara pada Juni 2020, dan dipidana lima tahun penjara karena keterlibatannya dalam organisasi teroris.
Selain mengunjungi MA, Yudi turut menyampaikan pandangannya terkait peristiwa serangan teror di Mabes Polri dan Gereja Katedral Makassar. Menurutnya, kedua aksi terorisme tersebut merupakan fenomena baru.
"Kalau kita lihat kejadian terorisme Makassar dan Mabes Polri yang saling berdekatan jadi rangkaian itu menjadi wajah baru dari terorisme di Indonesia," ujarnya.
"Ya kita lihat kalau sekarang trennya terorisme ada satu kejadian akan disambut oleh kejadian yang lainnya, beruntun ya, terjadi berulangkali sejak tahun 2010. Itulah wajah baru terorisme di indonesia," imbuhnya.
Menurut Yudi, dahulu aksi terorisme seperti pengeboman, terjadi setiap beberapa tahun sekali. Rentang waktunya sekitar satu hingga tiga tahun sekali.
"Kalau sekarang dalam beberapa hari bisa terjadi berulang kali. Kenapa bisa seperti itu, ini yang jadi pertanyaan," tuturnya.
Selain itu, kini pelaku teror tak perlu lagi bergabung dengan organisasi teroris, untuk melakukan aksi terorisme. Namun cukup meyakini sebuah ideologi radikal atau teroris, dan serangan pun bisa dilakukan.
"Cukup bersandarkan pada ideologi dan ideologi yang mereka miliki cukup untuk membuat mereka bergerak seorang diri, nah ini bedanya," kata dia.
Ideologi yang dianut saat ini pun dipandang Yudi berbeda. Kini, ideologi para teroris lebih radikal. Selain itu keterlibatan perempuan dalam aksi teror juga kian meningkat.
"Yang sekarang lebih ekstrem. Makanya yang sekarang mesin penggerak terorismenya ialah ideologi. Kalau dulu meski ada ideologi tapi penggerak aksinya adalah organisasi," jelasnya
"Makanya kita perlu waspada ya. Kalau misalkan Polri ungkap jaringan nah orang di luar jaringan yang nggak paham sama kejadian bisa terlibat, dan keterlibatan wanita menjadi tren," imbuh Yudi.
Menurut dia, perempuan terlibat terorisme tidak terlepas dari keyakinan pribadi masing-masing, misalnya karena ingin meraih surga. Kondisi ini dinilai berbahaya, karena mampu memicu bangkitnya semangat para teroris laki-laki untuk melakukan serangan.
"Tapi di sisi lain keterlibatan mereka akan membangkitkan semangat dari kaum lelaki 'bahwa wanita saja berani melakukan aksi masak laki-laki nggak berani' dan ini menjadi tren lalu ada keyakinan suami-istri ingin masuk surga bersama nah itu jadi tren juga," tandas jebolan magister Universitas Indonesia ini.(bh/mos) |