Beranda | Berita Utama | White Crime | Cyber Crime | EkBis | Opini | INDEX Berita
Eksekutif | Legislatif | Gaya Hidup | Selebriti | Nusantara | Internasional | Lingkungan
Politik | Pemilu | Peradilan | Perdata| Pidana | Reskrim
Nusantara    
Cyberbullying
LBH Pers: Revisi UU ITE Mengekang dan Mengancam Kebebasan Berekspresi
2016-11-28 09:51:05
 

Ilustrasi.(Foto: Istimewa)
 
JAKARTA, Berita HUKUM - Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers berpendapat revisi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, atau yang lebih dikenal sebagai UU ITE, yang mulai berlaku hari Senin (28/11) ini berpotensi mengancam kebebasan ekspresi.

"Perubahan yang dilakukan terkait UU ITE ini hanyalah melegitimasi kepentingan pemerintah agar sikap kritis masyarakat Indonesia dikekang dengan menambahkan kewenangan-kewenangan baru Pemerintah. Semua revisi lebih banyak memberikan kewenangan-kewenangan baru kepada pemerintah," kata Direktur Eksekutif LBH Pers Nawawi Bahrudin melalui siaran pers, Senin (28/11).

Menurut dia, pemerintah semestinya mencabut ketentuan Pasal 27 ayat (3), bukan hanya mengurangi ancaman hukumannya dari enam tahun menjadi empat tahun.

Ia mengatakan, mengurangi ancaman hukuman tidak menjawab akar masalah karena dalam praktik, aparat penegak hukum kerap menggunakan tuduhan ganda, pasal berlapis, sehingga ancaman pidana yang ada dapat menahan sesorang yang dilaporkan atas pasal 27 ayat (3).

Terkait dengan right to be forgotten yang ditambahkan pada pasal 26, mengenai pemberitaan di masa lalu, ia menilai ketentuan ini dapat menjadi sensor berita.

"Ketentuan ini bisa berakibat negatif karena dapat menjadi alat baru untuk melakukan sensor atas berita, berita publikasi media dan jurnalis di masa lalu," kata dia.

Praktik right to be forgotten di Eropa, lanjut dia, masih menjadi perdebatan serius meski implementasinya hanya terhadap mesin pencari (search engine) dan tidak termasuk situs ataupun aplikasi tertentu.

Perundungan dunia maya (cyberbullying) yang disisipkan pada pasal 29 menurut dia berpotensi menimbulkan overkriminalisasi karena masih banyak ahli pidana dari negara lain yang sulit merumuskan definisi perundungan.

Revisi UU ITE dinilainya melompat jauh karena negara belum memiliki definisi hukum yang baku mengenai perundungan di dunia nyata namun terkesan memaksakan pengertian perundungan di dunia maya.

Ia menambahkan, ketiadaan definisi perundungan dapat menyebabkan rumusan yang akan digunakan bersifat lentur dan multitafsir. Tindakan tersebut berpotensi disalahgunakan sehingga terbuka celah untuk membatasi kebebasan berekspresi di dunia maya.

Sementara, Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang belum lama ini direvisi, berlaku mulai Senin hari ini. Apa saja poin perubahan dibanding aturan sebelumnya?


Revisi tersebut resmi berlaku usai melewati 30 hari sejak disahkan menjadi UU pada 27 Oktober 2016. Dan mulai berlaku Senin (28/11).

"Menurut teman-teman bagian hukum di kami, itu berlaku per hari ini karena sudah melewati 30 hari setelah disepakati pemeirntah dan DPR," kata Plt Kepala Biro Humas Kemenkominfo Noor Iza saat dihubungi, Senin (28/11/2016).

Ada beberapa perubahan di UU ITE yang baru yaitu sebagai berikut:

1. Untuk menghindari multitafsir terhadap ketentuan larangan mendistribusikan, mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik bermuatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik pada ketentuan Pasal 27 ayat (3), dilakukan 3 (tiga) perubahan sebagai berikut:

a. Menambahkan penjelasan atas istilah "mendistribusikan, mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik".
b. Menegaskan bahwa ketentuan tersebut adalah delik aduan bukan delik umum.
c. Menegaskan bahwa unsur pidana pada ketentuan tersebut mengacu pada ketentuan pencemaran nama baik dan fitnah yang diatur dalam KUHP.

2. Menurunkan ancaman pidana pada 2 (dua) ketentuan sebagai berikut:

a. Ancaman pidana penghinaan dan/atau pencemaran nama baik diturunkan dari pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun menjadi paling lama 4 (tahun) dan/atau denda dari paling banyak Rp 1 miliar menjadi paling banyak Rp 750 juta.
b. Ancaman pidana pengiriman informasi elektronik berisi ancaman kekerasan atau menakut-nakuti dari pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun menjadi paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda dari paling banyak Rp 2 miliar menjadi paling banyak Rp 750 juta.

3. Melaksanakan putusan Mahkamah Konstitusi terhadap 2 (dua) ketentuan sebagai berikut:

a. Mengubah ketentuan Pasal 31 ayat (4) yang semula mengamanatkan pengaturan tata cara intersepsi atau penyadapan dalam Peraturan Pemerintah menjadi dalam Undang-Undang.
b. Menambahkan penjelasan pada ketentuan Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) mengenai keberadaan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik sebagai alat bukti hukum yang sah.

4. Melakukan sinkronisasi ketentuan hukum acara pada Pasal 43 ayat (5) dan ayat (6) dengan ketentuan hukum acara pada KUHAP, sebagai berikut:

a. Penggeledahan dan/atau penyitaan yang semula harus mendapatkan izin Ketua Pengadilan Negeri setempat, disesuaikan kembali dengan ketentuan KUHAP.
b. Penangkapan penahanan yang semula harus meminta penetapan Ketua Pengadilan Negeri setempat dalam waktu 1x24 jam, disesuaikan kembali dengan ketentuan KUHAP.

5. Memperkuat peran Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) dalam UU ITE pada ketentuan Pasal 43 ayat (5):

a. Kewenangan membatasi atau memutuskan akses terkait dengan tindak pidana teknologi informasi;
b. Kewenangan meminta informasi dari Penyelenggara Sistem Elektronik terkait tindak pidana teknologi informasi.

6. Menambahkan ketentuan mengenai "right to be forgotten" atau "hak untuk dilupakan" pada ketentuan Pasal 26, sebagai berikut:

a. Setiap Penyelenggara Sistem Elektronik wajib menghapus Informasi Elektronik yang tidak relevan yang berada di bawah kendalinya atas permintaan orang yang bersangkutan berdasarkan penetapan pengadilan.
b. Setiap Penyelenggara Sistem Elektronik wajib menyediakan mekanisme penghapusan Informasi Elektronik yang sudah tidak relevan.

7. Memperkuat peran Pemerintah dalam memberikan perlindungan dari segala jenis gangguan akibat penyalahgunaan informasi dan transaksi elektronik dengan menyisipkan kewenangan tambahan pada ketentuan Pasal 40:

a. Pemerintah wajib melakukan pencegahan penyebarluasan Informasi Elektronik yang memiliki muatan yang dilarang;

b. Pemerintah berwenang melakukan pemutusan akses dan/atau memerintahkan kepada Penyelenggara Sistem Elektronik untuk melakukan pemutusan akses terhadap Informasi Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar hukum.(dbs/fjp/fjp/na/Antara/detik/bh/sya)



 
   Berita Terkait >
 
 
 
ads1

  Berita Utama
Permohonan Praperadilan Tom Lembong Ditolak, Jampidsus Lanjutkan Penyidikan

Polri Bongkar Jaringan Clandestine Lab Narkoba di Bali, Barang Bukti Mencapai Rp 1,5 Triliun

Komisi XIII DPR Bakal Bentuk Panja Pemasyarakatan Usai 7 Tahanan Negara Kasus Narkoba Kabur dari Rutan Salemba

Pakar Hukum: Berdasarkan Aturan MK, Kepala Daerah Dua Periode Tidak Boleh Maju Lagi di Pilkada

 

ads2

  Berita Terkini
 
Permohonan Praperadilan Tom Lembong Ditolak, Jampidsus Lanjutkan Penyidikan

Hari Guru Nasional, Psikiater Mintarsih Ingatkan Pemerintah Agar Segera Sejahterakan Para Guru

Polri Bongkar Jaringan Clandestine Lab Narkoba di Bali, Barang Bukti Mencapai Rp 1,5 Triliun

Judi Haram dan Melanggar UU, PPBR Mendesak MUI Mengeluarkan Fatwa Lawan Judi

Komisi XIII DPR Bakal Bentuk Panja Pemasyarakatan Usai 7 Tahanan Negara Kasus Narkoba Kabur dari Rutan Salemba

ads3
 
PT. Zafa Mediatama Indonesia
Kantor Redaksi
Jl. Fatmawati Raya No 47D Lt.2
Cilandak - Jakarta Selatan 12410
Telp : +62 21 7493148
+62 85100405359

info@beritahukum.com
 
Beranda | Tentang Kami | Partner | Disclaimer | Mobile
 
  Copyright 2011 @ BeritaHUKUM.com | V2