JAKARTA, Berita HUKUM - Alokasi dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk pos anggaran Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) yang digunakan untuk membayar ganti kerugian atas adanya penambahan cakupan wilayah penanganan masalah sosial pada wilayah yang berada di luar Peta Area Terdampak (PAT) adalah sebuah bentuk tanggung jawab negara dalam rangka melaksanakan amanat Pembukaan UUD 1945.
Demikian disampaikan oleh Mahkamah Konstitusi dalam Putusan No.53/PUU-X/2017 terkait pengujian Pasal 18 dan Pasal 19 Undang-Undang (UU) No. 4/2012 tentang Perubahan atas UU No. 22/2011 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2012 (UU APBNP TA 2012), Kamis (13/12). “Mengadili, menyatakan menolak permohonan para Pemohon untuk seluruhnya,” kata Mahfud MD selaku Ketua Sidang Pleno yang juga Ketua MK ini.
MK dalam pertimbangan putusannya menyatakan, jika Pemerintah tidak ikut memikul tanggung jawab untuk mengatasi masalah yang diderita oleh rakyat Sidoarjo yang berada di luar wilayah PAT yang sebelumnya tidak ditetapkan menjadi tanggung jawab PT Lapindo Brantas Inc, maka rakyat Sidoarjo yang berada di luar PAT akan mengalami penderitaan tanpa kepastian hukum.
Pasal 18 UU 4/2012 dan Pasal 19 UU 22/2011 yang pada pokoknya mengatur mengenai dana APBN untuk pos anggaran BPLS, kata Mahkamah, diantaranya digunakan untuk pembelian tanah dan bangunan di luar PAT dan untuk kegiatan mitigasi penanggulangan semburan lumpur, telah bersesuaian pula dengan UU 24/2007 tentang Penanggulangan Bencana. “Dengan demikian tidak bertentangan dengan Pasal 23 ayat (1) UUD1945,” jelasnya.
Hal demikian dikuatkan juga dengan UU 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Dalam hal ini, asas tanggung jawab negara mengandung makna bahwa negara menjamin pemanfaatan sumber daya alam akan memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi kesejahteraan dan mutu hidup rakyat, baik generasi masa kini maupun generasi mendatang. “Negara menjamin hak warga negara atas lingkungan hidup yang baik dan sehat, serta mencegah dilakukannya kegiatan pemanfaatan sumber daya alam yang menimbulkan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup,” tutur hakim konstitusi.
Meskipun peristiwa Lumpur Lapindo diakibatkan oleh bencana alam atau bukan bencana alam, lanjut Mahkamah, terdapat tanggung jawab perusahaan yaitu PT Lapindo Brantas Inc. yang mengakibatkan rusaknya lingkungan, yaitu membayar ganti kerugian dengan melakukan pembelian atas tanah dan bangunan milik rakyat yang rusak akibat lumpur Lapindo pada PAT dan tanggung jawab negara di luar PAT. “Tanggung jawab negara tersebut adalah bagian dari pelaksanaan fungsi Negara yang harus memberikan perlindungan dan jaminan kepada rakyat atas lingkungan hidup yang baik dan sehat sebagaimana diamanatkan oleh konstitusi,” urainya.
Berdasarkan seluruh uraian pertimbangan yang ada, MK berpendapat permohonan Pemohon terkait dengan pengalokasian dana APBN untuk Lumpur Lapindo tidak beralasan menurut hukum. “Permohonan para Pemohon tidak terbukti dan tidak beralasan menurut hukum,” terang hakim konstitusi.
Perkara ini dimohonkan oleh Letnan Jenderal Mar. (Purn) Suharto, Dr. Tjuk Kasturi Sukiadi, dan Ali Azhar Akbar. Ketiganya, kecuali Suharto hadir dalam persidangan perdana ini didampingi kuasa hukumnya, yaitu M.Taufik Budiman, Waluyo Rahayu, dan Hari Agus. Mereka mendalilkan dalam permohonanya, hak sebagai pembayar pajak yang digunakan dalam pendanaan APBN 2012 dilanggar dan dirugikan. Pasalnya, Pemohon menganggap tidak seharusnya “uang mereka” digunakan untuk membiayai penyelesaian kasus lumpur Lapindo yang notabene merupakan kewajiban perusahaan swasta.(su/mk/bhc/opn) |