JAKARTA, Berita HUKUM - Sistem Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden yang diatur dalam UUD 1945 tidak hanya berdasarkan suara mayoritas, tetapi juga mayoritas bersyarat sebagaimana diatur dalam Pasal 6A ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan, “Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang mendapatkan suara lebih dari lima puluh persen dari jumlah suara dalam pemilihan umum dengan sedikitnya dua puluh persen suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia, dilantik menjadi Presiden dan Wakil Presiden”. “Artinya, dengan syarat tersebut, suara yang diperoleh seorang Presiden dan Wakil Presiden terpilih harus merata di seluruh wilayah Indonesia,” kata Hakim Konstitusi Harjono saat membacakan Pendapat Mahkamah, dalam sidang pengucapan putusan Nomor 25/PUU-X/2012 yang digelar di Mahkamah Konstitusi, Selasa (8/1) siang.
Putusan ihwal pengujian Pasal 159 pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4) dan ayat (5) UU Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden (UU Pemilu Presiden) diajukan oleh lima orang kepala suku di Papua. Kelimanya yaitu Hofni Ajoi (Kepala Suku Amberbaken Kebar Karon, AKK), Maurits Major (Kepala Suku Bikar), Barnabas Sedik (Kepala Suku Miyah), Marthen Yeblo (Kepala Suku Abun), dan Stevanus Syufi (Kepala Suku Ireres).
Mahkamah dalam amar putusan menyatakan menolak permohonan. “Amar putusan, mengadili, menyatakan menolak permohonan para Pemohon untuk seluruhnya,” kata Ketua Pleno Hakim Konstitusi Moh Mahfud MD didampingi Achmad Sodiki, M. Akil Mochtar, Harjono, Anwar Usman, Muhammad Alim, Maria Farida Indrati, dan Ahmad Fadlil Sumadi.
Para Pemohon mengajukan formula tentang bobot politik suara dalam Pemilu Presiden tidak berdasarkan penghitungan one man one vote. Menurut para Pemohon, “suara” harus dimaknai, “suara rakyat yang mengandung bobot politik dengan mencakup unsur penduduk dan unsur wilayah pada tiap-tiap provinsi di seluruh Indonesia sebagai satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan”.
Selain itu, para Pemohon juga meminta Mahkamah untuk menyatakan bobot politik suara Pilpres pada tiap-tiap provinsi ialah, “persentase luas wilayah tiap-tiap provinsi terhadap seluruh luas wilayah Indonesia ditambah dengan persentase jumlah penduduk tiap-tiap provinsi terhadap seluruh jumlah penduduk Indonesia, kemudian hasil penjumlahan tersebut dibagi dua”.
Formula tersebut, menurut Mahkamah, mungkin dapat digunakan dalam memberi bobot suara pemilih. Namun, perumus UUD 1945 dalam mengatur tata cara Pemilu Presiden tidak memilih formula yang diajukan para Pemohon tersebut. “Perumus UUD 1945 telah menentukan bahwa pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden didasarkan atas perolehan suara mayoritas bersyarat dan one man one vote,” lanjut Harjono membacakan Pendapat Mahkamah.
Diusulkan Parpol Berdasarkan mekanisme Pemilu Presiden yang berlaku, siapapun warga negara Indonesia yang ingin mencalonkan diri sebagai Calon Presiden dan/atau Calon Wakil Presiden harus terlebih dahulu melewati mekanisme sebagaimana diatur dalam Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan, “Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum.” Artinya, siapapun orangnya, dari manapun asalnya, dari etnis apapun dirinya, untuk menentukan layak atau tidak layaknya seseorang tersebut menjadi pasangan Capres, harus terlebih dahulu dinilai dan ditentukan oleh partai politik (parpol) atau gabungan parpol peserta pemilihan umum. Produk dari keputusan ini sudah tidak membedakan sekat-sekat asal etnis atau ikatan primordial lainnya seperti agama, ras, dan daerah karena semuanya sudah menjadi satu kesatuan bangsa sebagai warga negara Republik Indonesia.
Hal demikian juga sesuai dengan Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan, “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”.
Menurut Mahkamah, perbedaan etnis ataupun perbedaan-perbedaan lainnya tidak dapat dijadikan alasan untuk mendapatkan kemudahan dan perlakuan khusus untuk dapat maju sebagai pasangan Capres. Sebab sistem demokrasi tidak membolehkan terjadinya diskriminasi terhadap suku, agama, ras, dan antar golongan. Untuk dapat terpilih sebagai capres, yang diperlukan adalah seseorang tersebut memenuhi syarat-syarat sebagaimana telah diatur dalam Pasal 6 ayat (1) UUD 1945 juncto Pasal 5 UU Pemilu Presiden yang di dalamnya sama sekali tidak ada rumusan yang pada pokoknya tidak menghalang-halangi dan tidak pula mengistimewakan suku, agama, ras, dan golongan tertentu untuk menjadi capres.
Berdasarkan pertimbangan hukum di atas, Perumus UUD 1945 telah menentukan bahwa Pemilu Presiden didasarkan atas perolehan suara mayoritas bersyarat dan one man one vote serta tidak terbukti bahwa para Perumus UUD 1945 mendasarkan mekanisme pembobotan suara sebagaimana diajukan para Pemohon. “Pasal 159 ayat (1) sampai dengan ayat (5) UU 42/2008 telah sesuai dan tidak bertentangan dengan Pasal 6A, Pasal 18B ayat (2), dan Pasal 28H ayat (2) UUD 1945 sehingga permohonan para Pemohon tidak beralasan menurut hukum,” tandas Harjono.(nra/mk/bhc/opn) |