JAKARTA (BeritaHUKUM.com) – Kasus pencurian pulsa naik tingkat. Ternyata perkara ini tidak lagi ditangani Polda Metro Jaya, melainkan telah diambil alih Mabes Polri. Pasalnya, kejahatan yang telah merugikan konsumen pelanggan ponsel itu, sudah masuk kategori kejatahan yang bersifat nasional.
Hal ini diungkapkan pelapor kasus pencurian pulsa, Daniel Kumendong ketika dihubungi wartawan di Jakarta, Senin (24/10). Dirinya sendiri, jelas Daniel, semula tidak mengetahuinya. Pelimpahan itu baru diketahuinya, setelah dirinya urung diperiksa Polda Metro Jaya.
“Saya baru tahu kasus ini sudah ditangani Mabes Polri, karena hari ini (Senin, 24/10-red) tidak jadi di-BAP. Sebab, menurut penyidik Khairudin dari pihak Polda bahwa kasus ini akan dilimpahkan ke Mabes Polri. Nantinya, saya akan diberikan SP2HP. Tapi waktunya tidak dijelaskan kapan,” jelas Daniel.
Dalam keterangannya itu, penyidik juga menyebutkan bahwa kasus yang menimpa dirinya serta tiga korban lain itu, dinilainya telah bersifat nasional dan harus ditangani Mabes Polri. “Pemeriksaan saya dan pelapor lain mungkin akan dilanjutkan di mabes Polri,” jelas dia.
Sebelumnya, Polda Metro Jaya yang menangani kasus pencurian pulsa ini, sudah memeriksa ada tiga pelapor yang mengadukan kasus dugaan pencurian pulsa. Ketiga pelapor itu yakni Feri Kuntoro (36), Daniel Kumendong (39), dan Hendry Kurniawan (36). Mereka mengaku merasa dirugikan dengan SMS premium yang didapat nyaris setiap hari. Untuk melakukan deaktivasi pun, mereka acap menemukan kegagalan.
Seperti diberitakan, Kabid Humas Polda Metro Jaya, Kombes Pol. Baharudin Djafar menyatakan bahwa pihaknya sudah bertemu dengan pihak asosiasi perusahaan penyedia layanan konten atau Indonesia Mobile Content and Online Content Provider (IMOCA). Selanjutnya, polisi akan menghimpun informasi dari beberapa pihak untuk BAP, yakni para saksi ahli seperti ahli bahasa, ahli ITE, ahli telekomunikasi, ahli perlindungan konsumen, ahli pidana, hingga Kementerian Sosial kalau ada unsur undian di dalamnya.
Dalam kesempatan terpisah, pakar hukum tata negara Universitas Indonesia (UI) Refly Harun meragukan pengiriman layanan SMS premium akan dihentikan. Sebab, Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) hanya mengeluarkan surat edaran yang sifatnya mengimbau untuk menghenytikan layanan itu.
“Secara hukum, surat tersebut rawan untuk dilawan, karena tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat. Surat edaran itu termasuk dalam wilayah abu-abu alias produk hukum yang tidak dikenal," jelas dia.
Menurut Refly, hanya dua produk hukum yang ada dalam pembentukan perundang-undangan yakni peraturan dan keputusan. Sedangkan surat edaran sifatnya tidak wajib, tidak mengikat, dan hanya sebatas guidance (informasi). "Surat edaran BRTI tidak mengacu pada peraturan tertentu. Sebaiknya, BRTI mengeluarkan surat yang mengikat, yakni peraturan atau keputusan. Surat edaran bukan sesuatu yang memaksa harus ditaati,” jelas dia.
Sebelumnya, BRTI telah mengeluarkan surat edaran yang ditujukan kepada operator yang tergabung dalam Asosiasi Telekomunikasi Selular Indonesia (ATSI). Surat bernomor 177/BRTI/X/2011 berisi instruksi para operator telekomunikasi untuk melakukan deaktivasi atau unregistrasi layanan SMS premium, menghentikan broadcast iklan layanan konten, serta mengembalikan pulsa konsumen yang dicuri. (mic/bie/ind)
|