JAKARTA, Berita HUKUM - Salah satu persoalan yang bakal menjadi perdebatan menarik juga bahan kajian para pakar hukum tata negara adalah apakah seorang gubernur yang mencalonkan/dicalonkan menjadi presiden/wakil presiden tidak perlu mundur dari jabatannnya dan cukup dengan izin presiden.
Jika mencermati ketentuan pasal 6 ayat (1) UU 42/2008 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden disebutkan pejabat negara yang dicalonkan sebagai capres atau cawapres oleh parpol atau gabungan parpol harus mengundurkan diri dari jabatannya.
Masih di UU yang sama pasal 7 ayat (1) menyebutkan gubernur, wakil gubernur, bupati, wakil bupati, walikota, wakil walikota yang akan dicalonkan oleh parpol atau gabungan parpol sebagai capres atau cawapres harus meminta izin kepada Presiden. Kemudian pada ayat 2 mengatur bahwa surat permintaan izin gubernur, wakil gubernur, bupati, wakil bupati, walikota, wakil walikota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada KPU oleh parpol atau gabungan parpol sebagai dokumen persyaratan calon presiden atau calon wakil presiden.
"Dengan demikian, Jokowi ketika didaftarkan oleh gabungan parpol sebagai bakal capres harus sudah menyertakan surat pernyataan mengundurkan dirinya sebagai gubernur DKI bersamaan surat permintaan izin kepada presiden sebagai bagian dari etika pemerintahan," kata koordinator TPDI Petrus Selestinus, saat berbincang dengan wartawan di Jakarta, Senin (4/8).
Berdasarkan ketentuan dalam UU 42/2008 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, tidak terdapat pasal yang mengecualikan capres dari pejabat negara/gubernur untuk tidak mengundurkan diri dari jabatannya. Selain itu juga tidak mengharuskan pejabat negara yang berasal dari gubernur memiliki izin tertulis dari presiden ketika didaftarkan sebagai capres/cawapres. Sebab yang diharuskan dilampirkan capres/cawapres dari pejabat negara ketika didaftarkan di KPU adalah surat permintaan izin kepada presiden, bukan surat pemberian izin dari presiden.
"Jika pada saat Jokowi didaftarkan sebagai capres oleh PDIP tidak dilampirkan surat pernyataan pengunduran diri dari jabatannya sebagai gubernur DKI dan tidak ada surat permintaan izin kepada presiden, maka dari segi prosedur, bukan saja gabungan parpol, PDIP dan capres Jokowi dianggap telah melakukan kesalahan fatal, akan tetapi KPU dan Bawaslu juga telah ikut menjerumuskan capres Jokowi," tegas Petrus.
Petrus menekankan, surat permintaan izin kepada presiden dengan mundur dari jabatan pejabat negara adalah dua hal yang sangat berbeda. Jika dalam proses administrasi, Jokowi hanya melampirkan surat permintaan izin kepada presiden tanpa surat pengunduran diri, maka KPU sebagai penyelenggara Pemilu telah menjebak bersangkutan, termasuk gabungan parpol pengusungnya.
"Di MK nanti hal ini bisa menjadi perdebatan serius karena menyangkut legal standing capres yang cacat yuridis," katanya pula.
Nampaknya gabungan parpol pengusung Jokowi-JK tidak mencermati sengketa uji pasal 7 UU 42/2008 tentang Pilpres, di mana mayoritas ahli dan anggota DPR ketika memberikan keterangannya dalam persidangan di MK menyuarakan agar pejabat negara dari gubernur yang maju menjadi capres/cawapres tetap harus mundur dari jabatan. Hal ini sejalan dengan pembentukan UU 42/2008 dengan tidak ada maksud untuk mengecualikan.
Malahan, khusus untuk capres dari gubernur selain harus menyatakan mundur dari jabatan gubernur, juga ditambah dengan melampirkan surat permintaan izin kepada presiden sebagai bagian dari sopan santun, tatakrama dan etika penyelenggaraan pemerintahan seperti dimaksud dalam penjelasan pasal 7 UU 42/2008, urainya.
"KPU meloloskan Jokowi-JK tanpa ada koreksi dan verfikasi, maka hal itu akan menjadi batu sandungan bagi Jokowi-JK berikut gabungan parpol pengusung dalam sengketa Pilpres di MK tanggal 6 Agustus 2014 nanti, karena Tim hukum Prabowo-Hatta dan masyarakat akan tetap menuntut dan mempersoalkan secara hukum," pungkasnya.(wid/rmol/bhc/sya) |