JAKARTA, Berita HUKUM - Lembaga non pemerintah Divisi Investigasi Indonesia Corruption Watch (ICW) menghadiri sidang sengketa informasi dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia sebagai termohon pada hari Jumat (19/2).
Seperti diketahui bahwa hampir 6 bulan yang lalu bahwa ICW dengan menggunakam mekanisme UU No. 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP) pada bulan September 2015 telah melakukan permintaan informasi kepada Kejaksaan RI dan Kepolisian RI terkait dengan penanganan perkara korupsi selama periode tahun 2010 hingga 2014. Ikhwalnya pula, permintaan informasi dilakukan berdasarkan hasil kajian ICW tentang monitoring perkembangan penanganan perkara korupsi selama 2010 hingga 2014.
Adapun Informasi yang ICW minta antara lain: Nama perkara korupsi disertai dengan tanggal penetapan sprindik, tanggal selesainya penyidikan (P21), nama atau inisial tersangka, nilai kerugian Negara, nama institusi yang menangani tingkat daerah (Kejaksaan Agung, Kejaksaan Tinggi, Kejaksaan Negeri), Jumlah penyidik perkara korupsi, anggaran penanganan perkara korupsi, dan laporan tahunan masing – masing institusi.
Sidang berlangsung hanya sebentar, Ketua majelis lagi-lagi menunda sidang dikarenakan legal standing termohon dipertanyakan. Adapun sidang berikutnya dijadwalkan dua (2) minggu lagi dan diharapkan pihak termohon Kejaksaan Agung sudah memenuhi legal standing dan kejelasan apakah ada informasi yang dikecualikan atau tidak, dari informasi yang disengketakan pemohon.
Komisi Informasi Pusat (KIP) memanggil ICW sebagai pelapor atas permintaan informasi yang tidak direspon oleh Kejaksaan RI. Yang turut hadir dalam sidang sengketa dari perwakilan ICW adalah Febri Hendri dan Wana Alamsyah. Sedangkan dari Komisi Informasi Pusat (KIP) yakni Rumadi Ahmad (Ketua Majelis) dan Abdulhamid Dipopramono (Anggota majelis).
"Kalau dilihat dari sisi aturan, masih ada masalah untuk yang memberi kuasa. Seharusnya atasan PPID Kejaksaan, bukan PPID Kejaksaan, " kata Rumadi Ahmad, Ketua Majelis.
"Akhirnya sidang ditunda oleh Ketua Majelis, dengan catatan termohon melakukan perbaikan surat kuasanya. Dan juga perlu mempelajari yang diminta oleh pemohon. Karena termohon tidak menyatakan informasi yang diminta adalah informasi yang dikecualikan, oleh karena itu bisa ditempuh dengan mediasi," sambung ketua Majelis mengatakan lagi.
Sementara Febri Hendri dari ICW menyampaikan, "Baiknya atasan PPID yang memberi kuasa dan ada atensi dari atasan PPID," sampai Koordinator Divisi Investigasi ICW itu.
Selanjutnya, "Yang mengganggu kami adalah aturan kami sendiri. Kami tersendat karena Wakil Jaksa Agung sebagai atasan PPID saat ini tidak ada, posisi kosong karena sudah pensiun." kata termohon Kejaksaan Agung
Dari 2.433 kasus yang berhasil ICW pantau, ditemukan sebanyak 857 atau sekitar 70 persen perkara yang tidak jelas perkembangannya di Kejaksaan RI dengan nilai kerugian Negara sebesar Rp 7,7 triliun. Namun, Kejaksaan tidak kunjung memberikan informasi yang ICW minta. Hingga pada bulan Oktober, ICW melayangkan surat keberatan atas informasi yang tidak direspon.
Harapannya menurut ICW, proses sengketa informasi yang dimediasi oleh KIP dapat menjadi pemicu Kejaksaan RI untuk terbuka dalam memberikan informasi penanganan perkara korupsi ke publik. Karena hingga kini, masyarakat kesulitan memperoleh informasi perkara korupsi, terutama di daerah.
Hal ini menjadi sangat relevan ketika Pemerintah melakukan acara penandatanganan Nota Kesepahaman bersama tentang penanganan tindak pidana berbasis teknologi informasi beberapa waktu lalu. "Acara penandatangan ini diharapkan menjadi pemicu kedua institusi tersebut untuk melakukan pembenahan dalam bidang tata kelola informasi yang transparan dan akuntabel. Jangan sampai kegiatan ini hanya menjadi acara seremonial tanpa adanya tindakan yang jelas dari Kejaksaan RI," pungkas perwakilan ICW, Febri Hendri dan Wana Alamsyah.(rls/bh/mnd) |