JAKARTA, Berita HUKUM - Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota (Perpu Pilkada), dipersoalkan Habib Muhsin Ahmad Al-Attas, Ketua Umum DPP Front Pembela Islam (FPI).
Dalam sidang pendahuluan untuk nomor perkara 135/PUU-XII/2014 yang dipimpin Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Arief Hidayat, Rabu, 17/12, pemohon melalui kuasa hukumnya Fazri Apriliansyah mengatakan Pasal 203 ayat (1) Perpu Pilkada yang berbunyi “Dalam hal terjadi kekosongan gubernur, bupati dan walikota yang diangkat berdasarkan UU No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, wakil gubernur, wakil bupati, dan wakil walikota menggantikan gubernur, bupati dan walikota sampai dengan berakhir masa jabatannya” bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945), karena ketentuan itu bertolak belakang dengan pasal lain dalam Perpu yang sama, yakni Pasal 173.
Pemohon menilai ketentuan tersebut juga bertentangan dengan amanat Pasal 35 ayat (1) UU 32/2004 yang menyebutkan bahwa “Apabila kepala daerah diberhentikan berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (2), Pasal 31 ayat (2), dan Pasal 32 ayat (7) jabatan kepala daerah diganti oleh wakil kepala daerah sampai berakhir masa jabatannya dan proses pelaksanaannya dilakukan berdasarkan keputusan Rapat Paripurna DPRD dan disahkan oleh Presiden”.
Oleh karena itu dalam permohonannya Pemohon juga berpandangan, bahwa penerapan ketentuan tersebut, yaitu pengangkatan Plt. Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahja Purnama atau Ahok, menjadi Gubernur menyalahi aturan karena Joko Widodo berhenti sebagai gubernur bukan diakibatkan oleh persoalan pidana, melainkan terpilih sebagai Presiden RI. Berdasar argumentasi itu, pemohon menilai ketentuan Pasal 203 ayat (1) tersebut bertentangan dengan konstitusi, dan untuk pengisian posisi Gubernur DKI Jakarta seharusnya dilakukan melalui mekanisme pemilihan umum.
Terhadap permohonan itu, Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati memberikan nasihat kepada pemohon untuk memperbaiki permohonannya. Maria mempertanyakan, apakah yang dipersoalkan oleh pemohon adalah norma dari UU atau penerapan dari norma tersebut. Menurut Maria, jika pemohon mempersoalkan penerapan aturan tersebut, hal tersebut bukan merupakan kewenangan MK. Selain itu, Maria juga melihat pemohon mempertentangkan Perpu tesebut dengan UU lain. “MK tidak memiliki kewenangan untuk menguji undang-undang terhadap undang-undang lainnya,” ujar Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia itu.
Sementara Hakim Konstitusi Aswanto dalam nasihatnya mengatakan bahwa pemohon harus mampu menunjukkan kerugian konstitusional yang dialami akibat berlakunya Pasal 203 ayat (1) Perppu Pilkada itu. Hal senada juga disampaikan oleh Wakil Ketua MK, Arief Hidayat, yang menilai permohonan pemohon tersebut lebih condong sebagai pengaduan konstitusi (constitustional complain).
Atas nasihat dan saran yang disampaikan oleh majelis hakim, pemohon diberi waktu 14 hari untuk memperbaiki permohonannya. Arief Hidayat juga menginformasikan kepada pemohon, karena MK juga tengah menguji UU yang sama, maka dalam persidangan berikutnya proses pemeriksaan pemohon akan dijadikan satu dengan permohonan lainnya yang akan digelar pada 8 Januari 2015.(Ilham/mk/bhc/sya) |