JAKARTA, Berita HUKUM - Pilkada serentak pada 9 Desember 2015 lalu diklaim telah berlangsung damai oleh pemerintah. Namun, pada kenyataannya, daerah-daerah paska Pilkada yang telah melaksanakannya dengan masing-masing calon yang ada justru membuka sengketa dari pesta demokrasi tersebut. Bahkan beberapa daerah diwarnai kericuhan, seperti Kaltara, Gowa (Sulawesi Selatan), Manado, Simalungun, Siantar dan Kalteng.
Jerry Sumampao seorang aktivis dan pengamat politik yang juga Koordinator Komite Pemilih Indonesia (TePI), suatu Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang bergerak di bidang pemantauan Pemilu, terkait pesta demokrasi Pemilihan kepala daerah (Pilkada) serentak lalu dan telah memunculkan sengketa, kira-kira lebih dari ratusan yang ada faktanya, memberikan pandangannya kepada pewarta BeritaHUKUM.com dengan menyampaikan bahwa, "Gugatan paslon (pasangan calon) sebaiknya tentang pelanggaran-pelanggaran Pilkada, bukan hasil," ungkapnya, saat acara diskusi publik mengenai pasal 158 UU nomor 8 /2015 dengan tema "Membunuh Demokrasi, Halalkan Kecurangan & Korupsi" yang dilaksanakan di restoran Handayani, Jalan Matraman Raya, Jakarta Timur pada, Sabtu (26/12).
Sebagai moderator disesi diskusi publik ini nampak hadir Ratna Sarumpaet sebagai budayawan, aktivis sosial yang dikenal kritis dan juga dihadiri para nara sumber Adhie Massardi sebagai Pengamat Politik, mantan Jubir Presiden Almr. Gus Dur, Jerry Sumampouw sebagai aktivis dan pengamat politik Indonesia, Sallamuddin Daeng sebagai pengamat ekonomi, dan politisi Marwah Daud Ibrahim.
Menurut Ratna Sarumpaet, kedepannya keputusan MK harus lebih hati-hati, jangan seperti di kejar target. Beliau menilai, permasalahan yang baru-baru ini timbul gugatan ke MK terkait persoalan Pilkada ada sejumlah 140 an gugatan, namun hanya 21 yang dikabulkan untuk uji materi. Berawal dari pandangannya dari sisi kebudayaan, kemanusiaan (humaniora).
Terkait dengan Pasal 158 UU no.8/2015 dimana lima (5) bulan yang lalu, panitia pemenangan salah satu pasangan calon bupati di Rokan Hilir (Rohil). Menurut Ratna Sarumpaet bahwa, pasal 158, UU nomor 8 /2015 indikasinya ibarat undang-undang Pemilu / Pilkada super liberal yang pasalnya mengatur tentang pembatasan selisih maksimal sebagai syarat formil diterima atau tidaknya sengketa dalam pemilihan bupati/walikota/gubernur ini.
"Memang sangat keterlaluan, membuat seratus (100) dari seratus sembilan belas (119) sengketa Pilkada 2015, yang diajukan ke MK terancam GUGUR," ketusnya.
Substansi yang disaksikan sekarang, demokrasi nampak telah melukakan rakyat. Padahal, demokrasi sejatinya memberikan keadilan bagi rakyat, namun nampak terseok-seok. "Untuk terjadi dialog, UU itu kan apalagi sudah merugikan bangsa. Tapi-kan Pemerintah kita gak peduli, kita mau tetap ini dieksplor abis-abisan," ungkap Ratna Sarumpaet.
"Tidak sulit mempercayai ada pasangan calon yang ingin bertarung di Pilkada tanpa money politik. Tapi ketika menyaksikan ribuan orang berkumpul di Bagan Batu, dalam kampanye akbar dengan mata dan teriakan yang menunjukan kerinduan akan perubahan, itu luar biasa," imbuhnya.
"Namun, seperti sering kita lihat / dengar, dua hari menjelang pemilihan. Kecurangan-kecurangan calon Incumben mulai bermunculan. Massif, terstruktur, dst," ujarnya.
"Hal itulah yang mengantar tiga dari empat Paslon Rohil kini secara sendiri-sendiri mengajukan gugatan ke MK, melawan calon Incumben dan yang mendorong RSCC menggelar diskusi ini. Akan ada uji materi yang akan diajukan ke MK hari Senin besok. Tapi karena keputusan MK tidak berlaku surut," jelas Ratna Sarumpaet, Sabtu (26/12).
Satu-satunya harapan bisa menolong 100 sengketa yang terancam gugur di MK adalah melalui desakan publik, mendorong MK memastikan diri tidak hanya memeriksa perselisihan hasil / Rekapiltulasi dengan alasan kejar target /schedule, tetapi memeriksa fakta /Indikasi pelanggaran yang memenuhi standar TSM dan mempengaruhi perolehan hasil, karena bagaimanapun, "Perluasan objek pemeriksaan terhadap pelanggaran yang TSM, selain telah dilakukan MK sebelumnya, juga tidak menyimpang dari Undang-undang," ungkapnya.
Bukan persoalan mereka yang dicalonkan, namun persoalan demokrasi bangsa kita. Bahwa, demokrasi adalah untuk memanusiakan manusia bangsa kita. Menurut Ratna Sarumpaet, kalau pelanggarannya begitu masif, meskipun Pilkada sudah selesai dan sudah ada penetapannya. Belum tentu kasus tersebut ditutup. Pelanggaran bisa dibuka.
Kondisi pada umumnya, mempersoalkan selisih atas apa yang telah didapat dari masing-masing calon. Seperti diketahui, dari ratusan lebih (140) sengketa yang ada, ternyata hanya 21 saja yang dapat diproses. Dan, hal tersebut terjadi karena adanya Pasal 158 UU No. 8 Tahun 2015 yang mengaturnya.
Sedangkan pengamat politik Jerry Sumampao mengatakan bahwa, kondisinya sekarang lain dengan yang dulu. Dimana kalau dulu tidak secara tegas dikatakan dihitung seperti kalkulator (seperti pada pasal 158) yang menyebutkan selisih dengan prosentase 0,5-2% yang dapat dipersidangkan. Ia merasa, kalau ini sudah ditutup dan faktanya ini sudah dikunci (harus melalui seleksi dengan 0,5-2 persen selisihnya). Lebih lagi hasil dari KPU sudah ada, serta hasil dari KPU keliatan prosentase selisihnya.
Dalam waktu jangka pendek ini, menurutnya dapat dicoba nanti dalam Petum, dimana bukan sengketa hasil, namun sengketa Pilkada. "Di dalam Petum nanti adalah keabsahan Pilkada. Pelanggaran tersebut ditunjukan dalam masing-masing yang mengajukan gugatan," jelas Jerry Sumampao.
Memang, kondisinya kemarin saat pesta demokrasi dilaksanakan secara serentak sarat kental sekali aroma terjadinya pelanggaran. Dan itu harus ditunjukan dari masing-masing yang mengajukan gugatan. "Jadi tidak ada larangan untuk mepersoalkan Proses walaupun hasil sudah diumumkan. Tidak ada klausul yang secara rigit membatasi itu," ujar Jerry yang juga merupakan Koordinator Komite Pemilih Indonesia (TePI), sebagai LSM yang bergerak di bidang pemantauan Pemilu.
Jadi memang nanti secara langsung gugatan tersebut dapat mengungkap bahwa, pengadilan itu dapat membatalkan Petum. Dan salah satu komplent karena prosesnya banyak sekali bermasalah.
Oleh permasalahan etik ini tidak ditengarai oleh persoalan oleh administrasi, oleh gugatan gugatan yang kadaluwarsa dll, KPU yang tidak memfollow up. Kalau dulu bisa, kalau calon dikumpulkan dan gugatan hasil. Sekarang tidak bisa karena UU ini. Jadi, terabaikan gugatannya, harapan dari banyak gugatan yang masuk 140 itu, tidak realistik jika dipandang berdasarkan UU itu. menurutnya harus dilihat substansi proses-nya hingga tidak bisa hanya dilihat secara kalkulator saja, ungkap Jerry.
Sehingga, wajar saja timbul keinginan meminta keadilan sulit tercapai dalam 'peperangan' meraih kekuasaan. Walaupun seperti Jerry Sumampao katakan hanya ada dua (2) cara, yakni dengan Judicial Review dan Perpu untuk mengatasi hal ini. Namun, itu untuk tindakan jangka panjang, namun untuk jangka pendeknya, dalam rangka membela kebenaran atas dasar sisi secara substansial, kemanusiaan, moral dan etik. Namun, secara UU tidak begitu, untuk kedepannya iapun beranggapan, agar UU pasal 158 nomor 8 tahun 2015 ini dapat segera diubah oleh Mahkamah Konstitusi (MK) melalui DPR RI nanti, pungkasnya.(bh/mnd)
|