JAKARTA, Berita HUKUM - Indonesia adalah negara dengan luas hutan tropis dan keanekaragaman hayati terbesar kedua di dunia setelah Brazil. Di sini kita bisa mendapati 10% spesies tanaman, 12% spesies mamalia, 16% spesies reptilia dan amfibi dan 17% dari spesies burung yang ada di seluruh dunia. Bahkan sejumlah spesies tersebut bersifat endemik, artinya hanya terdapat di Indonesia dan tidak ditemukan di tempat lain, seperti burung cendrawasih di Papua, bekantan di Kalimantan, anoa di Sulawesi dan lain-lain.
Hutan tropis nusantara bukan saja berkah bagi kita, tapi juga bagi seluruh makluk hidup di dunia. Kenapa begitu? Karena hutan bisa menjadi penyeimbang iklim global. Hutan-hutan alam yang rindang bisa menahan pemanasan global akibat mesin industrialisasi yang melepaskan emisi gas rumah kaca ke atmosfir. Emisi gas rumah kaca seperti CO2 yang berasal dari deforestasi menyumbang 20 persen total emisi global yang melebihi jumlah total emisi seluruh mobil, pesawat dan kereta api yang ada di dunia ini.
Namun sayangnya sekitar 34% hutan Indonesia sudah rusak parah atau bahkan hilang akibat perluasan industri kayu dan minyak sawit serta akibat pembalakan. Bahkan Indonesia pernah menjadi peringkat nomor satu di dunia untuk laju kerusakan hutan tercepat, yang tercatat di World Guinness Book of Records. Kementerian Kehutanan pada tahun 2011 mengeluarkan data bahwa sekitar 1.2 juta hektar hutan Indonesia hilang setiap tahunnya, hampir 5 kali lipat luas negara Singapura.
Karenanya meski terlambat, pada tanggal 20 Mei 2011 Pemerintah Indonesia mengeluarkan kebijakan Instruksi Presiden Nomor 10 Tahun 2011 tentang Penundaan Pemberian Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer Dan Lahan Gambut. Kebijakan ini dikenal dengan istilah Moratorium Hutan atau jeda tebang yang diharapkan dapat menjadi proses untuk memperbaiki tata kelola dan mengurangi emisi dari deforestasi.
Lalu apa isi kebijakan moratorium hutan ini? Sederhananya adalah bahwa pemerintah berkomitmen untuk tidak lagi mengeluarkan izin baru penebangan hutan alam dan gambut selama masa pelaksanaan moratorium. Jeda tebang ini dimaksudkan untuk memberi waktu bagi pemerintah menata ulang kebijakan kehutanan dengan mengidentifikasi berapa luas hutan dan lahan gambut yang harus dilindungi.
Bukankah pemerintah sudah punya luasan hutan yang terlindungi dalam kebijakan sebelumnya? Iya benar, pemerintah sudah punya hutan yang disebut hutan lindung dan hutan suaka margasatwa. Namun luas hutan lindung itu hanya sedikit. Sehingga dengan adanya moratorium hutan pemerintah berharap dapat mengindentifikasi tambahan wilayah hutan yang belum terlindungi menjadi dilindungi. Hasilnya? Pemerintah “berhasil” mengidentifikasi hanya sekitar 12,5 juta ha hutan baru yang akan dilindungi. Sementara jumlah hutan lindung dan konservasi sebelumnya 58,9 juta ha. Sehingga dengan Moratorium ini pemerintah mengklaim telah melindungi sekitar 63,8 juta hektar hutan alam dan gambut. Sebanyak itu kah hutan kita?
Analisis Greenpeace berdasarkan Peta Tutupan Lahan tahun 2011 dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menunjukkan Indonesia memiliki 93,6 juta hektar tutupan hutan primer dan sekunder yang seharusnya dilindungi dan masuk wilayah moratorium. Namun, Greenpeace mengidentifikasi hanya 50,8 juta hektar saja yang masuk dalam peta Moratorium (PIPPIB 7). Lalu kemana 42,8 juta hektar tutupan hutan primer dan sekunder (setara luas Pulau Sumatera) itu? Sekitar 29% (atau 12,5 juta hektar) tutupan hutan yang tidak terlindungi tersebut sangat berpotensi hilang karena terdapat di kawasan APL (Areal Penggunaan Lain) dan HPK (Hutan Produksi yang dapat diKonversi). Sedangkan jika moratorium tidak dilanjutkan, maka 5,7 juta hektar hutan Indonesia akan musnah karena berada dalam areal yang telah dibebani izin konsesi sektor (kehutanan, perkebunan dan pertambangan).
Kebijakan Moratorium Hutan tidak berlaku permanen namun hanya berusia dua tahun. Dan sejak pertama kali diluncurkan 2011, kebijakan ini sudah mengalami perpanjangan sekali yakni di tahun 2013 pada tanggal 13 Mei. Dan hari ini, kebijakan ini kembali akan berakhir kurang dari 43 hari lagi. Sederhananya, Moratorium adalah waktu bagi pepohonan dan satwa di dalamnya bisa bernafas lega tanpa gangguan raungan chainshaw (gergaji mesin) dan alat berat penghancur hutan. Dan kini, nafas pepohonan dan satwa kembali tersedak menunggu ajal yang akan datang pada 13 Mei 2015 jika Moratorium Hutan ini tidak diperpanjang. Jadi Moratorium adalah kesempatan baik bagi penataan kembali pengelolaan hutan Indonesia.(zamzami/greenpeace/bh/sya) |