JAKARTA, Berita HUKUM - Soekarno dalam pidatonya pada rapat BPUPKI tanggal 15 Agustus 1945, mengatakan : ”Apakah kemerdekaan itu merubah segalanya dan harus menunggu semua rakyat Indonesia untuk bisa membaca. Tidak saudara – saudara, setelah proklamasi dan perubahan itu dimulai. Kemerdekaan merupakan jembatan emas menuju perubahan itu.” Telah dikumandangkan pada 17 Agustus 1945.
Jembatan emas itu menuju demi memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Jembatan emas berserikat, berkumpul dan menyatakan pendapat perjalanan panjang menjadi Indonesia dalam usia 68 tahun kemerdekaan, 13 tahun terakhir kerap dipandang sebagai era demokrasi yang menempatkan kebebasan berserikat, berkumpul dan menyatakan pendapat diatas segalanya. Kebebasan berpikir diatur oleh akhlak.
Kebebasan pers sebagaimana kebebasan yang lain, tidak mutlak tanpa batas. Batasan bukan mengubur kreatifitas dan kebebasan, namun untuk menghormati hak dan kebebasan dengan pihak lain. Pers sebagai pilar keempat demokrasi dituntut menjadi pandu bangsa kedepan.
"Jurnalis Muslim meyakini Ke-Islaman, ke-Indonesia dan Modern adalah cakrawala yang tidak terpisah untuk menjadi Indonesia. Meski istilahnya beragam, Jurnalistik Dakwah, dakwah bil qolam dan jurnalis kenabian pada asaznya merujuk sifat Rasulullah SAW.
Ajaran Nabi Muhammad SAW berupa sifat sidiq , amanah, fatanah dan tabligh menjiwai jurnalis dalam memberikan kebenaran kepada para pembaca,"demikian di ungkapkan Ketua Persaudaraan Jurnalis Muslim Indonesia, Mohammad Anthoni,dalam pernyataannya terkait refleksi akhir tahun 2013
Lebih lanjut Mohammad Anthoni, menegaskan, memandang hal di atas, Persaudaraan Jurnalis Muslim Indonesia (PJMI) mencatat beberapa hal sepanjang tahun 2013 yang masih menyisakan masalah. PJMI mencatat persoalan tahun 2013 dan masih akan mewarnai pada tahun 2014 antara lain;
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers (UU Pers) seharusnya menjadi tolak ukur pertama aturan hukum yang berkaitan dengan upaya merawat kebebasan pers.
Namun dalam praktiknya UU ini belum menjadi satu-satunya produk hukum yang menentukan dinamika kehidupan pers pada pasca reformasi.
Sementara itu, Anthoni juga menegaskan kebebasan berekspresi bakal terancam berupa sensor dan tekanan oleh negara, kelompok politik atau masyarakat yang mengatas namakan kebenaran melakukan tekanan dengan memaksakan opini sepihak.
Konglomerasi dan monopoli kepemilikan media yang berafiliasi pada kepentingan politik di tengah makin berkembangnya industri media akan menciptakan pers yang tidak sehat jika pemilik modal melakukan intervensi dalam ruang redaksi. Monopoli dalam pemilikan media juga akan berakibat monopoli informasi dan pemberitaan, terutama dalam hal penggunaan frekuensi publik.
Berkembangnya media tidak diimbangi oleh kesejahteraan atau upah yang layak kepada para pekerja pers. Rendahnya status karyawan tetap maupun jurnalis yang berstatus koresponden, kontributor, stringer dan freelancer, meminta perusahaan media untuk tidak bersikap tutup mata terhadap adanya praktik yang tidak manusiawi ini.
Beragam kasus kekerasan terhadap jurnalis. Masih hangat dalam ingatan, penganiayaan dan perampasan alat liputan disertai penganiayaan fisik seperti dilakukan perwira TNI AU terhadap jurnalis peliput jatuhnya pesawat Hawk 200 TNI AU di Pekanbaru adalah contoh kekerasan yang harus segera dikenai sanksi dan hukuman tegas.
Sekelompok massa melakukan penyerbuan stasiun TVRI Gorontalo oleh massa pendukung Wali Kota Gorontalo Adhan Dhambea. Kasus lain, pembakaran kantor redaksi Palopo Pos dan Fajar Biro Palopo di Palopo, Sulawesi Selatan.
Hingga hari ini, setelah 17 tahun berlalu, belum terungkapnya motif dan dalang terbunuhnya wartawan Bernas, Fuad Muhammad Syafrudin alias Udin. Kasus ini merupakan kisah yang tersisa dari Rezim Orde Baru. Kasus ini mengisyaratkan betapa rentannya perlindungan jurnalis dalam mengungkap fakta.
Sementara dalam kancah internasional, 126 wartawan di dunia tewas akibat kekerasan. Setelah Suriah, Filipina dan India menjadi negara yang paling berbahaya untuk para jurnalis. Di kedua negara itu, masing-masing ada 13 wartawan tewas saat bertugas. Di Filipina, 9 jurnalis tewas dibunuh dan 4 lainnya karena topan haiyan.
Sementara di India, 7 jurnalis dibunuh, tapi pelakunya tidak pernah diusut. Dua jurnalis lainnya tewas saat meliput kerusuhan massa dan 4 tewas kecelakaan saat bertugas.
Di Irak, 11 jurnalis tewas, 10 di antaranya dibunuh oleh kelompok bersenjata, 7 di Mosul. Di Pakistan, 9 tewas. Secara keseluruhan, pada 2013 ini terdapat 126 jurnalis yang tewas dalam tugas.
Tahun 2014 merupakan tahun politik karena berlangsungnya pemilihan umum (pemilu) untuk memilih presiden dan wakil rakyat. Sebagaimana pemilu-pemilu sebelumnya banyak pihak yang mencoba mempengaruhi dan menguasai media untuk kepentingan Pemilu 2014.
Fenomena seperti itu muncul di layar televisi yang dimiliki tokoh politik sekaligus pemilik media. Aroma intervensi kepentingan politik bukan hanya terjadi di ranah frekuensi public media cetak dan media online.
Dalam tahun politik 2014, Persaudaraan Jurnalis Muslim Indonesia (PJMI) menyerukan jurnalis beserta perusahaan dan pemilik media untuk selalu menjaga independensi dan profesionalisme pers dalam memberitakan proses politik dengan merujuk kepada UU Pers dan Kode Etik Jurnalistik.
Memandang hal itu, PJMI menyatakan :
1. Mendesak Pemerintah di tingkat pusat dan daerah untuk menjamin berjalannya praktik kebebasan berekspresi dan menghentikan berbagai aksi kekerasan atau aturan hukum yang diterapkan oleh aparat hukum, terutama menyangkut kasus yang dianggap sebagai pencemaran nama baik dalam karya jurnalistik dan citizen journalism.
2. Menyerukan agar media massa, terutama jurnalis tidak menjadi alat kepentingan politik tertentu. Sesuai khittahnya, media massa harus menjaga independensi dan profesionalismenya.
3. Mendesak agar para penegak hukum segera menggunakan UU Pers sebagai pedoman penyelesaian sengketa pemberitaan media dan mematuhi seruan Mahkamah Agung (MA) agar para hakim merujuk UU Pers dalam memutusakan perkara pemberitaan pers.
4. Menuntut pemerintah menjadikan hari kematian Udin sebagai hari perlindungan jurnalis.
----------------------------------------------
Sekilas Tentang Persaudaraan Jurnalis Muslim Indonesia (PJMI) :
Pada tanggal 08 April 2011, usai melaksanakan sholat Jumat di masjid dekat tempat tinggalnya, wartawan senior Widi Yarmanto meninggal dunia. Sore hingga malam itu, banyak kerabat wartawan bergerak dating ke rumah duka. Tapi, hanya sampai disitu. Esok paginya, saat jenazah hendak dikebumikan, wartawan yang mengantar hingga ke kuburan jumlahnya tak lebih dari lima jari tangan.
Fenomena itu, hampir terjadi pada setiap wartawan yang meninggal dunia. Solidaritas profesi tidak berlanjut hingga jasad wartawan rekan kita, tertanam di tanah. Sungguh berbeda dengan profesi lain. Seorang tentara, misalnya, ketika dia meninggal, jasadnya diserahkan ke negara. Para tentara juga yang mengantarkan hingga keliang lahat.
Lalu, sampai kapan fenomena wartawan yang meninggal tak diantar banyak rekannya hingga ke liang lahat ?. Bahkan, sebelum ajal menjemput, berapa pula jumlah wartawan yang tergerak untuk
mengunjungi, mendoakan serta member bantuan dana pengobatan pada sesama rekan profesi yang sedang menjalani rawat inap di rumah sakit ?, Wallahu’alam.
Kondisi sosial di antara rekan profesi wartawan ini membuat wartawan muslim terinspirasi untuk mendirikan Persadaraan Jurnalis Muslim Indonesia (PJMI). Tujuh wartawan senior; Mashadi (Era Muslim), Mohammad Anthoni (LKBN Antara), R.Widojo Hartono (Majalah Tapal Batas), Luqman Khalid (Tabloid Bekam), Ahmad Djunaedi (Suara Islam), Iwan Samariansyah (Jurnal Nasional) dan Suyunus Rizki (Koran Jakarta), sepakat untuk mendeklarasikan Persaudaraan Jurnalis Muslim Indonesia (PJMI).
Deklarasi dilakukan pada 3 Nopember 2011 dalam pertemuan sederhana di Jakarta dan dihadiri antara lain oleh Ir. H. Mohamad Bawazeer (tokoh pergerakan Al Irsyad). Selanjutnya, untuk menggerakan organisasi PJMI, Ketua Umum Mohammad Anthoni menghubungi wartawan senior Parni Hadi, Irjen Pol (Purn) Drs. H. Hari Soenanto SH MH dan Prof DR. H. Ahmad Sutarmadi untuk mendampingi Mohamad Bawazeer sebagai Pembina/Penasehat.(bhc/rat)
|