JAKARTA, Berita HUKUM - Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang dipimpin Djan Faridz mengajukan uji materiil Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang (UU Pilkada) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945). Sidang perdana perkara yang teregistrasi dengan Nomor 93/PUU-XIV/2016 digelar Mahkamah Konstitusi (MK) pada Selasa (18/10).
Djan Faridz dan Dimyati Natakusumah selaku Ketua dan Sekretaris Jenderal Dewan Pimpinan Pusat (DPP) PPP merasa dirugikan dengan berlakunya Pasal 40 ayat (3) UU Pilkada. Pasal a quo menyatakan; "Jika masih terdapat perselisihan atas putusan Mahkamah Partai atau sebutan lain sebagaimana dimaksud pada Ayat (2), kepengurusan Partai Politik tingkat Pusat yang dapat mendaftarkan pasangan calon merupakan kepengurusan yang sudah memperoleh putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dan didaftarkan serta ditetapkan dengan keputusan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum dan hak asasi manusia".
Pemohon, diwakili Zainab Musyarafah, merasa sebagai pihak yang dinyatakan sah sebagai Pengurus DPP PPP berdasarkan Putusan Mahkamah Agung RI No. 601 K/Pdt.Sus-Parpol/2015 yang telah berkekuatan hukum tetap. Dengan demikian, seharusnya Pemohon yang didaftarkan di Kementerian Hukum dan HAM sebagai pengurus DPP PPP. Akan tetapi, lanjut Zainab, Pemohon tidak mendapatkan pengesahan atau Surat Keputusan dari Menteri Hukum dan HAM RI. Menkumham justru menerbitkan SK No.M.HH-006.AH.11.01 Tahun 2016 yang mengesahkan hasil Muktamar VIII PPP pada tanggal 8 sampai 11 April 2016 yang bertentangan dengan PutusanMA.
Zainab melanjutkan norma Pasal 40A ayat (3), khususnya frasa "dan didaftarkan serta ditetapkan dengan keputusan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum dan hak asasi manusia" potensial menimbulkan kerugian hak konstitusional Pemohon yang seharusnya dilindungi negara, yaitu hak untuk memperoleh kepastian hukum yang adil menurut prinsip negara hukum. Menurut Pemohon, frasa tersebut sesungguhnya memberikan pembenaran atas tindakan Kementerian Hukum dan HAM yang mengabaikan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap dengan tidak mendaftarkan Pemohon sebagai pengurus DPP PPP yang sah.
"Frasa tersebut memberikan ruang bagi menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum dan HAM, yaitu Kemenkumham, untuk mengabaikan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. Pengakuan sahnya pimpinan suatu partai politik yang telah menempuh upaya penyelesaian pengadilan tidak lagi semata-mata digantungkan pada putusan pengadilan, tetapi digantungkan juga pada pendaftaran yang dilakukan oleh Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum dan HAM," paparnya di hadapan Majelis Hakim yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Manahan Sitompul tersebut.
Dengan frasa tersebut, Pemohon merasa menjadi korban tindakan sewenang-wenang Kemenkumham yang mengabaikan putusan pengadilan mengenai perselisihan internal partai politik. "Jika frasa tersebut dihilangkan atau dihapus, hak konstitusional Pemohon terpulihkan," imbuhnya.
Nasihat Hakim
Menanggapi permohonan Pemohon, Majelis Hakim yang juga terdiri dari Hakim Konstitusi Patrialis Akbar dan Aswanto memberikan saran perbaikan. Aswanto meminta agar pemohon mengelaborasi lebih lanjut dalil permohonannya karena belum terlihat kerugian konstitusional yang dialami pemohon. Ia menilai permasalahan yang dialami adalah mengenai masalah implementasi norma, bukan masalah konstitusionalitas norma.
"Ada beberapa hal yang menurut saya mungkin perlu diformulasi kembali, sehingga kami bisa lebih yakin bahwa memang persoalan yang diajukan oleh Para Pemohon ini adalah persoalan konstitusional, bukan persoalan impelementasi," ujarnya.
Majelis Hakim memberikan waktu selama 14 hari kerja untuk memperbaiki permohonan. Sidang berikutnya mengagendakan sidang pemeriksaan perbaikan permohonan.(LuluAnjarsari/lul/MK/bh/sya) |